Trenggalek (ANTARA) - Bupati Trenggalek, Jawa Timur Mochamad Nur Arifin menyampaikan aspirasi mayoritas kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Daerah Seluruh Indonesia (APKASI) saat mengikuti forum rapat desimenasi Badan Urusan Legislasi Daerah DPD-RI di ruang GBHN Gedung Nusantara V Kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis.
Dalam keterangan yang diterima, ia menjelaskan aspirasi yang dimaksud terutama berkaitan dengan penerapan Undang-undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Menurut dia, pengganti undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah itu ditujukan untuk membuat desentralisasi fiskal untuk pemerataan layanan, kesetaraan, sekaligus menjawab beberapa ketimpangan vertikal dan horisontal.
"Faktanya, peraturan ini masih menyisakan permasalahan ketimpangan (antara pusat dan daerah)," ucap Bupati Arifin alias mas Ipin saat memberi landasan argumen di rapat desimenasi BULD DPD RI itu.
Sebagai wakil APKASI, Mas Ipin mencoba menyampaikan keluh-kesah dari para kepala daerah atas diterapkannya Undang-undang itu. Bukan atas semangat kemunduran, curhatan Mas Ipin ini lebih kepada semangat menyempurnakan peraturan agar selaras dan tidak memberatkan daerah.
Pada awal paparannya, bupati muda itu mengapresiasi dan mendukung upaya BULD DPD RI dalam upaya melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah (ranperda) dan peraturan daerah (perda).
Dia juga menyambut baik diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD karena banyak ruang fiskal yang bisa menjadi sumber pendapatan pemerintah daerah.
Namun ada beberapa isu yang perlu untuk dipertimbangkan lagi, diantaranya isu terkait dengan penghapusan biaya balik nama dan pengurangan pajak progresif yang sebelumnya 10 persen menjadi 6 persen diharapkan oleh Mas Ipin untuk memaksimalkan keakuratan data dan penerapan option pajak.
Bagi Provinsi, hal ini merupakan pengurangan pendapatan yang begitu luar biasa.
"Pertama kami mendukung penghapusan biaya balik nama. Kalau pesannya untuk keakuratan data wajib pajak itu. Karena pusat-pusat kota aglomerasi pendapatannya akan semakin tinggi," katanya.
Apabila disimulasikan, lanjut dia, daerah (kabupaten/kota) dapatnya lebih sedikit.
Diharapkannya, kalau niatnya pemerataan maka yang tinggi untuk tidak didorong semakin tinggi, tapi daerah-daerah perlu didorong sehingga pemerataan benar-benar dirasakan.
Bagi masyarakat di daerah, banyak yang lebih memilih membeli mobil bekas ketimbang unit baru.
Menurut Mas Ipin, penerapan UU HKPD bagi kabupaten non aglomerasi terdapat beberapa konsekuensi yang memberatkan. Mungkin ada beberapa sumber yang bisa menjadi PAD, namun juga ada konsekuensi pembiayaan bersama seperti bagi hasil kepada desa.
Kalau ada opsi bagi hasil ke desa, menurut Mas Ipin, Kota Surabaya yang anggarannya besar tidak punya desa. Semuanya kelurahan, tentunya akan sangat mudah bagi-bagi hasil ke kelurahan. Sedangkan untuk kabupaten bila juga dibebani bagi hasil ke desa maka akan terasa sangat memberatkan.
Dalam rapat itu, Bupati Trenggalek sebagai wakil APKASI menawarkan 3 opsi.
Pertama, polanya dikembalikan seperti dahulu di Provinsi. Namun bila diterapkan, maka dalam opsi ini akan ada pertanyaan kok semangatnya mundur.
"Pola kedua, opsinya tetap diterapkan tapi pemerintah daerah tidak dibebani cost sharing dan bagi hasil ke desa. Untuk opsi ke tiga memainkan presentasi dimana ada yang sebagian diakui sebagai PAD di daerah pemerintah kabupaten dan ada yang diakui nanti sebagai pendapatan provinsi untuk kemudian bisa menjadi skema lagi bagi hasil provinsi kepada daerah dan kabupaten," katanya.
"Usulan saya, sesuai dengan kepadatan penduduknya. Suatu daerah yang punya kepadatan penduduk dengan memiliki kawasan hutan tertentu perlu diapresiasi. Kalau kawasan padat yang kemudian terdesak hutannya tidak didorong maka akan habis hutannya nanti," katanya.
Bila terus ditekan, daerah tidak punya kemampuan untuk memanfaatkan asetnya, maka bisa-bisa daerah memanfaatkan lahan hutan ini untuk kepentingan lain demi berdampak ekonomi tapi mengabaikan dampak ekologi yang ditimbulkan.
"Dari segala akses pendapatan tolong dipikirkan ada transfer insentif berbasis menjaga ekologi," kata dia.
Menyinggung mengenai dana abadi daerah bagi daerah mandiri fiskal, menurutnya daerah yang tidak mandiri fiskal inilah yang membutuhkan, karena mereka butuh untuk membiayai pendidikan masyarakatnya, menangani kemiskinan dan yang lainnya.
Dicontohkan oleh Mas Ipin dan jajarannya di Trenggalek. Bersama dengan BAZNAS di Trenggalek dapat melakukan berbagai upaya penanganan kemiskinan. Membiayai jaminan kesehatan masyarakat yang tidak tersentuh program dari Kementerian Sosial.
Terakhir, Bupati Trenggalek itu menyinggung mengenai pembiayaan PPPK yang diharapkannya tidak menjadi belanja pegawai melainkan belanja jasa, karena yang dibayar dari PPPK adalah jasanya. Dimana itu nanti ada PPPK penuh waktu dan PPPK paruh waktu.
Undang-undang mengamanahkan kepada pemerintah mengentaskan seluruh tenaga honorer di akhir 2024, namun di sisi lain pemerintah daerah dihadapkan dengan peraturan dimana belanja pegawai itu tidak boleh melebihi 30 persen dari total APBD.
Bila gaji PPPK masuk dalam belanja pegawai maka sampai kapan pun pemerintah daerah akan menjaga belanja pegawai tidak lebih 30 persen apalagi melaksanakan belanja modal 50 persen.
"Itu beberapa hal yang kami sampaikan, semoga menjadi perhatian," katanya.