Jakarta (ANTARA) - Tahun 2025 menunjukkan sebuah ironi besar: Ketika dunia makin saling tergantung, tapi kepercayaan antarnegara justru makin tipis.
Semua negara sepakat masalah global tak bisa diselesaikan sendirian. Akan tetapi, ketika mereka duduk bersama, masing-masing lebih sering membawa kecurigaan, mengedepankan kalkulasi politik, dan agenda domestik.
Di titik itulah multilateralisme, yakni cara negara-negara menyelesaikan masalah bersama lewat aturan dan forum yang disepakati bersama, benar-benar diuji. Pasalnya, multilateralisme tetap dipuja dalam pidato-pidato resmi dan dokumen panjang.
Hanya saja, multilateralisme kerap dihindari dalam praktik kebijakan nasional sehari-hari, ketika pemerintah harus memilih antara komitmen global dan tekanan politik di dalam negeri.
Diselesaikan sendiri
Multilateralisme sejatinya sederhana. Negara-negara sepakat bahwa ada masalah-masalah yang terlalu besar untuk diselesaikan sendiri.
Perang, krisis iklim, pandemi, perdagangan, semuanya membawa dampak lintas batas negara. Tidak ada tembok yang cukup tinggi untuk menahan dampak persoalan-persoalan tersebut.
Tahun 2025, yang ditandai dengan ulang tahun ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), justru menunjukkan bahwa lembaga multilateral itu terlihat lelah menghadapi dunia yang penuh masalah dan cepat berubah.
Betapa tidak. Konflik geopolitik belum reda. Rivalitas negara besar belum menemukan rem yang jelas. Alih-alih memperkuat forum bersama, banyak negara memilih jalur sendiri-sendiri.
Akhirnya, multilateralisme sering dijadikan alat, bukan tujuan. Inilah paradoks 2025. Semua negara butuh multilateralisme, namun agaknya hanya sedikit yang mau bersabar dengannya.
Padahal, kerja bersama memang tidak pernah secepat keputusan sepihak. Ia menuntut kompromi dan butuh waktu.
Jika kita berpaling ke sektor ekonomi, multilateralisme tampak pula tersendat. World Trade Organization (WTO) belum sepenuhnya pulih wibawanya sebagai wasit perdagangan dunia.
Faktanya, perdagangan global makin diwarnai tarif, subsidi, dan kebijakan nasional yang defensif. Aturan ada, tapi sering dilanggar dengan dalih darurat.
Setiap negara memang ingin melindungi rakyatnya. Itu wajar dan sah secara politik. Akan tetapi, ketika semua menutup pintu, yang terjadi justru saling sikut. Dunia pun menjadi arena rebutan, bukan arena kerja sama.
Hadirnya ekonomi digital menambah kerumitan. Data lintas negara bergerak tanpa paspor. Pajak perusahaan digital belum disepakati. Kecerdasan buatan berkembang jauh lebih cepat daripada aturan global yang mengaturnya.
Forum-forum multilateral berusaha mengejar ketertinggalan itu. Ada pertemuan, ada deklarasi, ada rencana kerja. Tapi, birokrasi internasional memang tidak dirancang untuk berlari cepat. Ia dibuat untuk hati-hati, bukan gesit.
Masalahnya, sang waktu tidak pernah menunggu. Ketika aturan global terlambat, negara kuat mengisi kekosongan dengan aturannya sendiri. Standar nasional dipaksakan menjadi standar global. Di situlah ketimpangan lahir secara halus.
Isu iklim menjadi cermin paling jujur dalam soal tersebut. Semua sepakat krisis iklim itu nyata dan mendesak. Semua juga sepakat harus bertindak sekarang. Namun, dalam praktiknya, komitmen sering berhenti di dokumen, tidak pernah benar-benar turun ke lapangan.
Di ruang perundingan, jurangnya makin terasa. Negara berkembang meminta keadilan dalam hal pendanaan yang layak, akses teknologi, dan ruang untuk tetap tumbuh. Sementara negara maju berbicara tentang transisi yang tertib dan bertahap.
Di antara dua kepentingan itu, niat baik kerap kalah oleh tekanan politik domestik masing-masing.
Tidak mati
Sesungguhnya multilateralisme 2025 tidak mati. Ia hanya kelelahan lantaran dipaksa mengerjakan terlalu banyak hal dengan kepercayaan yang makin tipis.
Beberapa pakar menyebut hal ini sebagai krisis legitimasi tata kelola global. Aturan ada, lembaganya ada, tapi kepercayaan pada wasitnya menurun, dan tanpa kepercayaan, aturan kehilangan gigi.
Kendati begitu, menyerah bukan pilihan. Dunia tanpa multilateralisme akan jauh lebih mahal biayanya. Konflik bakal lebih sering. Ketidakpastian akan lebih dalam. Yang lemah makin terpinggirkan tanpa perlindungan.
Bagi Indonesia, tren multilateralisme sepanjang 2025 ini penting dicermati. Kita bukan negara superpower yang bisa menentukan aturan sendiri, namun juga bukan penonton pasif. Kepentingan kita justru hidup dari aturan bersama yang relatif adil.
Perdagangan Indonesia hanya bisa tumbuh jika pasar dunia terbuka dan stabil. Lingkungan hidup membutuhkan komitmen global yang sungguh-sungguh, bukan sekadar janji.
Kawasan yang aman pun memerlukan forum bersama yang dipercaya semua pihak. Tanpa itu semua, rakyatlah yang akhirnya membayar harga paling mahal, baik secara ekonomi maupun sosial.
Dalam situasi seperti itu, sikap ekstrem tidak akan menguntungkan. Terlalu patuh membuat kita pasif dan mudah diseret kekuatan besar. Terlalu keras bisa membuat kita terisolasi. Keduanya sama-sama berisiko.
Maka, yang dibutuhkan adalah multilateralisme yang lentur. Prinsip tetap dijaga, tapi cara disesuaikan dengan realitas. Bukan ikut arus, melainkan tahu kapan bersuara dan kapan membangun koalisi.
Dalam konteks ASEAN, pendekatan seperti itu sering disalahpahami sebagai kelambanan. Lembaga ini kerap dianggap terlalu hati-hati dan kurang tegas.
Meskipun demikian, di tengah dunia yang makin gaduh dan reaktif, kehati-hatian justru menjadi nilai. Konsensus memang pelan, tetapi ia mencegah perpecahan dan menahan konflik terbuka agar tidak membesar.
Apa yang dipraktikkan ASEAN tersebut memberi pelajaran penting pula bagi multilateralisme secara lebih luas. Tahun 2025 telah menunjukkan bahwa kerja sama global tidak bisa lagi berhenti sebagai forum elite.
Ia harus turun ke kehidupan sehari-hari dan terasa manfaatnya bagi rakyat biasa, yakni, misalnya, pada harga pangan yang terjangkau, lapangan kerja yang aman, maupun udara yang lebih bersih. Di situlah legitimasi sejati multilateralisme diuji.
Jika tidak, publik bakal bertanya dengan nada sinis: untuk apa semua pertemuan mahal itu? Untuk apa konferensi dan deklarasi yang panjang? Pertanyaan sederhana ini berbahaya jika tak dijawab dengan hasil yang nyata.
Oleh sebab itu, modernisasi institusi multilateral mutlak dilakukan. Aturan perlu diperbarui, representasi perlu diperluas. Negara besar perlu menahan diri dan sadar batas. Negara kecil perlu berani bicara dan membangun solidaritas.
Keduanya sama-sama perlu mendengar, bukan hanya berbicara. Tanpa itu, forum-forum kerja sama internasional hanya menjadi panggung monolog.
Membangun kerja sama memang merepotkan dan melelahkan. Namun, konflik selalu lebih mahal dan lebih menyakitkan.
Dunia boleh multipolar dan penuh perbedaan. Kepentingan boleh tidak selalu sejalan. Namun, tanpa kesepakatan dasar, semua akan bergerak dalam kabut ketidakpastian dan itu berbahaya bagi siapa pun.
Di tengah dunia yang mudah curiga dan cepat marah, multilateralisme memberi ruang untuk berpikir bersama sebelum konflik berubah menjadi petaka global.
*) Djoko Subinarto adalah kolumnis, alumnus Departemen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
