Perubahan Kurikulum Pendidikan Saja Tidak Cukup
Minggu, 25 November 2012 6:19 WIB
Oleh Edy M Ya'kub
(Surabaya) - Tahun ajaran 2013 agaknya akan menjadi titik awal bagi perubahan kurikulum pendidikan nasional, meski pergantian kurikulum pendidikan itu justru terjadi menjelang akhir masa jabatan Mendikbud.
Buktinya, perbincangan ke arah sana sudah sangat serius, bahkan uji publik untuk rencana perubahan kurikulum pendidikan itu sudah menjadi wacana dimana-mana.
"Kurikulum baru itu sekarang masih dikaji ulang oleh tim sebelum uji publik pada November-Desember," kata Mendikbud Mohammad Nuh setelah meresmikan Airlangga Convention Centre (ACC) di kampus C Unair, Surabaya, 24 Oktober lalu.
Dalam uji publik itu, kata mantan Rektor ITS yang juga menjadi anggota MWA Unair itu, masyarakat punya kesempatan untuk mengkritik dan memberi saran, lalu tim akan merampungkan untuk dilaporkan kepada Wapres.
"Kurikulum baru sudah mulai dapat diterapkan pada tahun ajaran baru 2013, karena itu kami mengharapkan masukan dari masyarakat agar kurikulum baru nanti benar-benar sesuai dengan harapan kita semua untuk mencetak generasi berkarakter," katanya.
Ia menegaskan bahwa rancangan perbaikan kurikulum itu mengandaikan perubahan persentase pembelajaran akademik, pendidikan karakter, dan pelatihan ketrampilan yang diatur seimbang.
"Kurikulum baru itu akan menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis test dan portofolio saling melengkapi. Jadi, siswa tidak lagi banyak menghafal untuk mata pelajaran tahun depan, karena akan lebih banyak kurikulum berbasis sains," katanya.
Ada banyak pujian terkait perubahan kurikulum pendidikan itu, terutama metode tematik integratif untuk mata pelajaran IPA/IPS bagi siswa kelas 1 sampai kelas 3, karena kelas 1-3 itu fokusnya pada membaca, menulis dan berhitung (Calistung).
Untuk pramuka yang akan dijadikan ekstrakurikuler wajib juga dipuji banyak kalangan, karena pramuka bisa menjadi wahana untuk menumbuhkan sikap nasionalisme, apalagi pendidikan karakter juga akan dimasukkan dalam sejumlah mata pelajaran, bahkan Pancasila juga dimunculkan lagi.
Agaknya, pendidikan dan integritas akan menjadi pondasi pembangunan manusia ke depan. Manusia yang tidak memiliki integritas atau masih korupsi sudah tidak akan diterima masyarakat dunia. Jadi, integritas atau akhlak itu penting.
Namun, para pakar pendidikan mengkritik perubahan kurikulum pendidikan nasional itu tidak akan ada artinya jika kualitas guru masih seperti sekarang.
"Kunci perbaikan pendidikan adalah guru, bukan otak-atik kurikulum, sebab perbaikan kurikulum sebaik apa pun tidak ada artinya bila guru tidak berkualitas," kata intelektual muda Anies Baswedan kepada ANTARA di sela-sela peluncuran gerakan 'Scolah - Unair Mengajar' (School of Airlangga in Harmony - Unair Mengajar) di Rektorat Unair, 17 Oktober.
Guru, Teladan, Pembiasaan
Anies Baswedan yang juga pendiri 'Gerakan Indonesia Mengajar' itu menegaskan bahwa pemerintah harus fokus pada perbaikan kualitas guru untuk membenahi pendidikan di Indonesia.
"Kalau perlu, persentase perhatian kepada 'memasak' guru justru lebih besar daripada 'memasak' kurikulum, karena pendidikan karakter itu nggak bisa dengan tulisan (teori), tapi sangat ditentukan teladan. Nah, teladan itu sangat ditentukan guru yang berkualitas," katanya.
Rektor Universitas Paramadina Jakarta itu pun menyebut perhatian pada kualitas, distribusi, dan kesejahteraan guru akan bisa menyelesaikan 50 persen masalah pendidikan di Indonesia.
"Apresiasi terhadap guru itu tidak selalu harus berupa gaji, namun juga mengenai komponen pengembangan guru itu sendiri," katanya.
Pandangan itu dibenarkan praktisi pendidikan Drs H Abdullah Sani MPd. Kepala Sekolah SD Khadijah, Wonokromo, Surabaya itu menegaskan bahwa pendidikan karakter itu lebih sukses melalui teladan dan pembiasaan.
"Kami selalu mengajarkan anak untuk membaca surat-surat pendek Al Quran secara bersama-sama menjelang pembelajaran dimulai, bahkan bila ada anak terlambat pun dihukum dengan membaca salah satu surat pendek atau membaca lima sila Pancasila di depan kelas," katanya.
Contoh lain adalah siang hari siswa diajari praktik berwudhu, lalu secara berjamaah melakukan shalat dzuhur, baik menjadi makmum maupun menjadi imam. "Kalau ada siswa, guru, atau keluarganya yang meninggal dunia pun, kami ajak semua siswa di kelas itu untuk takziah," katanya.
Menanggapi pendidikan untuk guru, Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Muchlas Samani menegaskan bahwa pendidikan profesi guru (PPG) untuk calon guru akan dimulai Februari 2013.
"PPG itu ibarat pendidikan spesialis untuk calon guru seperti halnya dokter yang begitu lulus S1 wajib menjalani pendidikan spesialis untuk calon dokter (dokter muda)," kata salah seorang pimpinan universitas pelaksana PPG itu kepada ANTARA di Surabaya, 11 November lalu.
Ia menjelaskan UU Guru dan Dosen sudah ada sejak 2005, namun PPG untuk calon guru sengaja tidak dilaksanakan pada tahun 2005, karena memberi kesempatan kepada para guru senior (non-PPG) menjalani proses sertifikasi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial, sebab para calon guru yang lulusan PPG akan langsung dapat mengikuti sertifikasi.
"PPG itu juga mirip pendidikan profesi kedokteran yakni bukan lagi mengajarkan teori kependidikan, melainkan langsung praktik keguruan di lapangan selama 1-2 semester dan langsung mendapatkan penilaian. Kalau dokter melakukan malapraktik, maka pengaruhnya pada satu orang, tapi kalau guru melakukan malapraktik, maka dampaknya bisa satu generasi," katanya.
Walhasil, perubahan kurikulum pendidikan nasional saja tidak cukup, sebab kurikulum pendidikan nasional yang sebagus apapun akan sia-sia bila di tangan guru yang tidak berkualitas atau bahkan melakukan malapraktik pendidikan, karena itu perbaikan kurikulum wajib diikuti perbaikan kualitas guru. (*)