Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar kebangsaan Yudi Latif mengajak mahasiswa Universitas Jember (Unej), Jawa Timur untuk menghidupkan Pancasila di era digital karena hasil survei yang mencemaskan dari laporan Digital Civility Index dari Microsoft (2021).
"Dari hasil survei itu, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan tabiat bermedsos yang paling barbar di Asia Pasifik," kata Yudi Latif dalam keterangan tertulis yang diterima di Jember, Jumat.
Menurutnya kondisi tersebut terjadi karena kelemahan yang menghinggapi generasi muda yaitu kelemahan pada "actuarial intelligence" dan daya empati.
Actuarial intelligence didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerka dan membayangkan dampak dari suatu tindakan, seperti mem-posting sesuatu, bagi martabat diri sendiri dan kehidupan bersama.
"Kadang-kadang di dalam perilaku bermedsos, masyarakat itu asal jeplak, asal viral. Tidak punya lagi daya empati," katanya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang secara historis merupakan negeri yang hebat, menjadi "episentrum inovasi global" hingga abad ke-17 dan dikenal sebagai the cradle of maritime culture (tempat tumbuhnya peradaban maritim pertama).
"Saya menekankan bahwa kekuatan karakter yang menyatukan bangsa di tengah keragaman adalah gotong royong. Karakter itu terbukti masih hidup, bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia selama tiga tahun berturut-turut menurut The World Giving Index," ujarnya.
Yudi memberi catatan kritis, nilai gotong royong yang positif di masyarakat seringkali bertransformasi menjadi negatif ketika masuk ke dalam dunia politik dan kenegaraan, seperti dalam bentuk korupsi berjamaah.
Ia menekankan bahwa Indonesia memiliki semua alasan untuk menjadi bangsa maju berkat sumber daya alam dan sejarah yang cemerlang.
"Yang diperlukan adalah kenali dirimu dan jadilah versi terbaik dari dirimu. Itulah jalan Pancasila dengan mengaktualisasikan potensi kita," katanya.
Sementara Wakil Rektor Bidang Akademik Unej Prof. Slamin mengatakan bahwa mahasiswa adalah ujung tombak dalam menjaga nilai-nilai Pancasila di era digital yang penuh paradoks.
"Teknologi memang mendekatkan yang jauh, namun seringkali menjauhkan yang dekat. Tantangan kita adalah bagaimana Pancasila tetap menjadi panduan moral, terutama bagi generasi muda yang setiap hari bergelut dengan dunia digital," ujarnya.
