Jember (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiarej mengatakan hukum harus adaptif terhadap dinamika zaman dan harus menjalankan fungsi sebagai penjaga hubungan antar-sesama individu dan hubungan individu dengan negara dalam masyarakat, mencegah kesewenangan penguasa, dan fungsi untuk menyelesaikan sengketa.
"Dalam konteks hukum harus adaptif terhadap dinamika jaman inilah, maka pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diharapkan akan selesai dan diundangkan tahun ini," katanya saat memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Kamis.
Wamekumham yang biasa dipanggil Eddy memberikan kuliah umum bertema "Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia" yang dihadiri oleh Rektor, Wakil Rektor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Hukum, dosen dan mahasiswa di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej).
Menurutnya, sistem hukum di Indonesia selalu terkait dengan sistem lainnya seperti sistem agama, sosial, ekonomi, adat istiadat, serta politik maka tidak mudah menyusun RUU KUHP apalagi di Indonesia yang multi agama, multietnis dan multi-budaya.
"Akan selalu ada tarik menarik kepentingan dalam prosesnya. Saya mencontohkan negara Belanda yang baru bisa merampungkan KUHP setelah memakan waktu 70 tahun, padahal Belanda adalah negara yang tergolong relatif homogen secara agama, sosial, ekonomi, adat istiadat serta politik," tuturnya.
Ia mengatakan kajian hukum sangat luas, meliputi bayi yang masih dalam kandungan hingga orang yang sudah mati pun diatur oleh hukum, serta hukum juga merupakan sistem terbuka yang dibangun atas subsistem-subsistem lainnya.
"Hukum juga terkait dengan sistem-sistem lainnya seperti agama, sosial, ekonomi, dan politik. Kami menyadari jika dalam masa penyusunan RUU KUHP muncul kontroversi maka hal tersebut lumrah karena tidak mungkin RUUH KUHP bisa memuaskan semua pihak," ujarnya.
Ia mencontohkan satu pasal di RUU KUHP yang mengatur mengenai penodaan agama yang mendapat kritikan dari beberapa pihak dan pidana terhadap penodaan agama dalam KUHP juga dilakukan di negara lain, semisal, yang dilakukan oleh Belanda.
"Awalnya Belanda menghapus pasal penodaan agama, namun di tahun 1983 memberlakukan kembali setelah munculnya kejadian persekusi terhadap kalangan agama dan minoritas tertentu di Belanda," ujarnya.
Begitu pula terkait hukum adat atau The Living Law dalam RUU KUHP mendapat kritikan banyak pihak karena keberadaan pasal mengenai hukum adat itu bersumber dari kondisi dimana Indonesia adalah negara multi etnis sehingga hukum adat masih diikuti oleh banyak orang seperti di Bali dan Papua.
"Namun, bukan berarti kita akan menghidupkan kembali pengadilan adat, hukum adat juga menjadi the last resort jika sudah tidak ada pasal pidana yang mengatur, itu pun melalui pengadilan negeri yang ada," tuturnya.