Banyuwangi (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, akan memperkuat kerja sama dengan kejaksaan dalam implementasi keadilan restoratif mengolaborasikan program-program penguatan sosial yang selama ini digulirkan.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani telah menandatangani nota kesepakatan restotative justice bersama Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur, di Surabaya, pada Kamis.
"Tidak semua perkara hukum harus ditetapkan dan ditindak secara penegakan hukum, tapi kita juga harus melihat kondisi sosial terhadap para pihak yang terlibat baik korban, pelaku maupun keluarga korban dan pelaku," kata Bupati Ipuk dalam keterangannya di Banyuwangi, Kamis.
Setelah proses keadilan restoratif disepakati, lanjutnya, Pemkab akan memberikan penguatan dengan program-program sosial.
Ipuk mencontohkan apabila terjadi kasus pencurian yang nilainya tidak besar dan ternyata pelaku melakukan itu karena ada keluarganya yang sakit keras, sehingga terpaksa melakukan pencurian.
Dan apabila oleh aparat penegak hukum setelah dilakukan pemeriksaan ternyata penanganan perkara cukup dilakukan secara keadllan restoratif, selanjutnya Pemkab Banyuwangi melakukan asesmen terkait kondisi sosial ekonomi pelaku maupun korban.
"Misal ternyata pelaku memang belum bekerja, bisa nantinya mendapat program bantuan usaha dan pendampingan. Selain itu dilihat kondisi keluarga yang sakit telah terakomodasi BPJS dan sudah mendapat perawatan atau belum, itulah peran intervensi pemerintah," kata Bupati Ipuk.
Bupati Ipuk menambahkan, Banyuwangi memiliki banyak program penguatan sosial yang bisa diimplementasikan untuk memperkuat keadilan restoratif.
"Seperti bantuan alat usaha, pelatihan kerja, bantuan modal usaha dan berbagai bantuan sosial lainnya," katanya.
Kesepakatan keadilan restoratif ini merupakan inisiasi dari Kejaksaan Tinggi bersama Pemprov Jatim, yang diikuti oleh pemerintah daerah dan Kejaksaan Neri (Kejari) di wilayah Jawa Timur.
Keadilan restoratif merupakan pendekatan penyelesaian perkara pidana yang fokus pada pemulihan hubungan sosial antara pelaku, korban dan masyarakat, bukan pada penegakan hukum.
Pendekatan ini melibatkan dialog dan mediasi untuk mencari penyelesaian yang adil, memberikan ruang bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan korban untuk mendapatkan pemulihan, serta menekankan nilai musyawarah dan empati.
