Bondowoso (ANTARA) - Berbagai program yang digulirkan pemerintah dengan tujuan untuk kemaslahatan rakyat telah menyasar berbagai aspek, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Pada aspek kesehatan, pemerintah meluncurkan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang berjalan mulai 10 Februari 2025. Program ini merupakan wujud hadirnya negara untuk memastikan rakyat sehat, baik jiwa maupun raga.
Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, program CKG telah melayani sekitar 40 juta orang. Dari jumlah tersebut, 36 juta orang mengalami masalah gigi, tekanan darah tinggi, dan gula darah.
Program CKG ini tidak berdiri sendiri, melainkan melengkapi layanan kesehatan dari pemerintah yang sudah ada, seperti jaminan kesehatan, lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang juga telah menjangkau jutaan orang.
Mengelola pikiran
Seorang peneliti bidang kesehatan di Jepang Dr Masaro Emoto dalam hasil penelitiannya mengungkap bahwa 90 persen penyakit fisik manusia disebabkan oleh pikiran, sedangkan 10 persen sisanya karena makanan dan faktor lain.
Fakta tentang pikiran ini bisa dikaitkan dengan hasil penelitian lain dari Masaro Emoto mengenai air. Dia meneliti air yang diafirmasi dengan kata-kata tertentu, yakni baik atau buruk. Hasilnya, air yang diafirmasi kata-kata baik, lewat lisan maupun tulisan pada kertas yang ditempelkan ke wadah air, dapat mengubah bentuk kristal di dalamnya.
Air yang diafirmasi dengan kata-kata baik, seperti pujian, kata cinta, atau diperdengarkan musik, menghasilkan kristal yang beraturan dan indah. Sementara air yang diperlakukan dengan kata-kata tidak baik, seperti makian, menunjukkan bentuk kristal yang tidak beraturan.
Kesimpulannya, air menyimpan memori dari setiap kata atau perbuatan manusia yang ditangkapnya. Lalu apa kaitannya dengan kesehatan? Data menunjukkan bahwa 60 persen tubuh manusia mengandung air.
Kalau sifat dari air memiliki kemampuan menangkap informasi kemudian disimpan sebagai memori, maka kandungan air dalam tubuh manusia juga mampu menyimpan memori dari kata-kata setiap individu. Kata-kata itu bisa berupa verbal maupun yang berseliweran dalam pikiran.
Dalam konteks inilah mengapa setiap individu perlu mengelola pikiran agar tubuh selalu terjaga di kondisi damai.
Pikiran yang rumit akan menjadi beban bagi tubuh. Tubuh yang sudah terlalu berat menanggung beban akibat pikiran negatif akan mengalami pelemahan fungsi, sehingga menjadi sakit.
Bahkan, beberapa penelitian tentang kesehatan juga menemukan hubungan antara luka batin akibat pola pengasuhan ketika seseorang masih kecil dengan penyakit tertentu, seperti diabetes, termasuk kanker atau tumor.
Karena itu, ketika jiwa seorang pasien mampu berdamai dengan luka batin di masa lalu, perbaikan energi tubuh berjalan dengan sendirinya. Sehingga proses penyembuhan pada penderita menjadi lebih cepat dan si pasien tidak terjebak dalam pola sakit berulang yang penyebabnya bersumber dari luka-luka batin.
Mengelola pikiran agar selalu damai dalam setiap keadaan apapun adalah "asuransi" paling bagus meskipun menjaga pola hidup yang sehat secara fisik juga tetap tidak boleh diabaikan, seperti olahraga teratur dan menjaga pola makan.
Mengelola pikiran disebut sebagai "asuransi" terbaik, karena dengan menjaga pikiran selalu dalam keadaan damai sama artinya dengan menjaga tubuh tetap sehat.
Jika setiap individu di negeri ini tubuhnya terjaga dari gangguan penyakit, maka individu dan keluarga maupun negara tidak akan banyak mengeluarkan dana untuk biaya kesehatan.
Selain itu, dengan kondisi tubuh yang prima, dengan topangan pikiran dan jiwa damai, maka produktivitas anggota masyarakat itu akan terjaga, bahkan bisa meningkat.
Budaya mengelola pikiran ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) tentang kesehatan, sebagaimana terangkum dalam SDG poin 3, yakni "Kehidupan Sehat dan Sejahtera".
SDG poin 3 ini untuk memastikan individu dan kelompok mampu menjalani kehidupan yang sehat dan mempromosikan kesejahteraan bagi semua di segala usia.
Mengenai teknik mengelola pikiran, saat ini banyak komunitas di kota-kota besar dan daerah yang memfokuskan diri pada upaya menjaga pikiran selalu damai, baik berbasis agama tertentu maupun berdasarkan pada pemahaman secara universal.
Mereka biasanya belajar mengenai mind fullness, lewat meditasi, yoga, dan lainnya. Selain itu, ada juga berupa kajian yang bersumber dari ilmu kesadaran.
Dalam praktik mind fullness atau meditasi ini, seseorang tidak perlu melakukannya secara formal, dengan duduk diam, berada di ruangan tertentu dan waktu tertentu yang hening. Praktik ini bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Inti dari praktik ini adalah, jiwa kita selalu berada dalam mode kesadaran "di sini saat ini".
Dengan melatih kesadaran "di sini kini", maka seseorang tidak akan mudah larut dalam pikiran yang selalu meloncat kemana-mana, dengan alur secara umum ke masa lalu atau masa depan. Karena pikiran yang tidak dikelola, seseorang akan terjebak dalam penyesalan (pikiran terseret ke masa lalu) dan kekhawatiran (pikiran berkelana ke masa depan).
Dengan menjaga kesadaran selalu "di saat ini dan di sini", dipadu dengan menikmati rasa syukur atas setiap nikmat, sekecil apapun nilainya, maka jiwa menjadi damai, pikiran tertata, dan tubuh menjadi sehat.
Beruntunglah generasi yang hidup di era digital ini, karena semua pembelajaran telah difasilitasi oleh media sosial, baik yang berbasis teks maupun audio visual. Kita tidak perlu datang ke lokasi tertentu yang mungkin jauh untuk belajar sesuatu, termasuk belajar bagaimana mengelola pikiran agar selalu damai dan bahagia.
