Idealnya, wirausahawan di suatu negara adalah minimal dua persen dari jumlah pendudukan di negara itu. Sejumlah negara tetangga sudah melampaui angka ideal itu, bahkan Singapura mencapai 7,6 persen, sedangkan Indonesia masih 1,17 persen. "Karena itu, kami mengajak para guru untuk merancang bagaimana generasi muda Indonesia bisa mandiri, sebab guru merupakan 'resources' yang strategis untuk mewujudkan tujuan itu," kata Kepala 'CSR' Wilmar Indonesia, Budi Harsono. Ia mengaku ihtiar memasukkan kewirausahaan ke dalam sekolah itu sulit, sebab masyarakat Indonesia terbiasa berpikir atau bersikap saintis, bukan bekerja, padahal kalau anak-anak muda memikirkan pekerjaan tidak akan tawuran. "Lebih dari itu, potensi kewirausahaan di Indonesia itu banyak, sebab kearifan lokal belum dimaksimalkan, karena itu kami menggelar konferensi kewirausahaan yang diikuti 315 guru dan kepala sekolah dari 15 provinsi di Medan pada 10-12 September 2012," katanya. Dari jumlah itu, akhirnya dipilih 40 guru dan kepala sekolah dari 12 SMP/SMA se-Indonesia untuk mengikuti workshop wirausaha yang bekerja sama dengan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) di Surabaya pada 2-11 Oktober 2012. Lantas, bagaimana cara memasukkan kewirausahaan ke sekolah? "Prinsipnya adalah mengubah dari paradigma belajar 'apa' menjadi belajar 'bagaimana'," kata Direktur UCEC Surabaya, Dwisunu Februanto. Ia menjelaskan caranya juga sederhana yakni pengenalan inovasi atau kreasi dan pengenalan kebutuhan orang lain atau pasar. "Misalnya topik interaksi sosial pada mata pelajaran IPS. Topik ini bisa diarahkan menjadi 'event organizer' untuk acara sosial di panti wreda," katanya. Namun, katanya, konsep kewirausahaan dalam "event organizer" itu hanya sebatas ide dan aplikasi ide (kreasi) terkait gagasan, pengorganisasian, dan kolaborasi, sedangkan pada tataran implementasi atau aplikasi bisa dilakukan orang lain. "Yang penting, cara memasukkan dalam topik itu berarti bukan menambah kurikulum dengan mata pelajaran baru tentang kewirausahaan. Mata pelajaran matematika juga bisa diarahkan ke kewirausahaan bila siswa SMP/SMA memikirkan pengajaran bilangan kepada anak SD, sehingga ada event organizer di dalamnya," tuturnya. Ihtiar mengaitkan atau mengintegrasikan kewirausahaan dengan bidang studi di sekolah itulah yang menjadi pembahasan dalam workshop di Surabaya itu. Masukkan "Eskul" Bagi Kepala SMAN I Gresik, Suswanto, worshop itu menyenangkan, karena mata pelajaran bukan lagi hanya sekadar belajar teori, tapi belajar bagaimana mengimplementasikan teori. "Misalnya, inovasi itu diajarkan bagaimana menggali inovasi itu," katanya, didampingi rekannya dari daerah lain setelah mengikuti workshop bertajuk "Teachers' Training on Entrepreneurship" di Surabaya itu. Ia menjelaskan dirinya selaku kepala sekolah akan menularkan ilmu yang didapat kepada guru dan siswa di sekolahnya, terutama untuk menggagas cenderamata khas Gresik. "Mungkin bentuk cenderamata itu bisa bentuk mini dari Masjid Sunan Giri atau pohon siwalan, tapi target kami bukan produk itu, apalagi uang, melainkan bagaimana mengajarkan menggali ide, bagaimana rasanya menjual tapi ditolak pembeli," ucapnya. Senada dengan itu, rekannya Lindawaty Roesli yang juga Kepala SMP 'Nanyang Zhi Hui' Medan menegaskan bahwa dirinya belajar dari workshop itu bahwa wirausaha itu bukan dolar atau uang, melainkan budaya. "Jadi, hal terpenting dalam pembelajaran wirausaha itu bukan kepentingan bisnis, melainkan pentingnya proses dalam bisnis yakni ide, inovasi, tidak mudah menyerah, mandiri, dan berbagai proses lainnya," tukasnya. Oleh karena itu, katanya, target dari pembelajaran wirausaha itu bukan menjadi siswa sebagai pengusaha, sebab mereka akan jadi pengusaha atau tidak itu tidak penting, melainkan bagaimana siswa memiliki karakter "tahan banting". Hal yang sama juga diungkapkan Ernani dari MA Muhammadiyah I Medan. "Kewirausahaan itu bukan mata pelajaran baru, tapi kami bisa memasukkan dalam 'eskul' (ekstra kurikuler), atau bisa juga lewat beberapa topik pada pelajaran tertentu," katanya. Ia mencontohkan pelajaran ketrampilan dalam bentuk kreasi melipat kain akan dijadikan model kewirausahaan yang mengambil budaya lokal. "Kami juga akan mengajarkan cara menjual di kantin sekolah, sekolah lain, dan pameran," ujarnya. Namun, katanya, hal itu bukan mengajarkan siswa untuk menjadi pengusaha, karena bisnis itu hanya untuk keuntungan pribadi, sedangkan kewirausahaan itu untuk keuntungan pribadi dan kesejahteraan orang lain. Bagi seorang guru, katanya, konsep pembelajaran yang bersinergi antara teori dan praktik itu merupakan penghormatan kepada guru, karena guru bukan hanya teoritis, tapi ada unsur inovasi, kreasi, dan sosial. Agaknya, pengajaran kewirausahaan itu tidak harus dalam bentuk mata pelajaran baru, namun bisa dimasukkan lewat beberapa topik pada pelajaran tertentu, atau 'eskul' (ekstra kurikuler), sebab kewirausahaan itu bukan sekadar mengajarkan bisnis, tapi karakter inovatif, mandiri, dan tahan banting. (*)
Kiat Memasukkan Kewirausahaan ke Sekolah
Jumat, 12 Oktober 2012 13:59 WIB