Perajin Batik di Kota Madiun Sulit Berkembang
Selasa, 2 Oktober 2012 14:10 WIB
Madiun - Perajin batik di Kota Madiun, Jawa Timur, masih minim perhatian dari pemerintah daerah setempat, sehingga sulit untuk berkembang dan kalah bersaing dengan batik dari daerah lain.
"Meski tidak banyak, untungnya masih bisa produksi walaupun hanya sedikit. Produksinya sesuai dengan pesanan yang ada," ujar perajin batik di Jalan Tuntang, Kelurahan Pandean, Kecamatan Taman, Kota Madiun, Siti Qomariah (62), Selasa.
Siti Qomariah merupakan satu-satunya perajin batik di Kota Madiun. Keahlian membatik didapatkannya sejak kecil dari sekolah batik di wilayah Walikukun, Ngawi.
Meski minim pesanan, usahanya tetap bertahan. Pihaknya pernah beberapa kali mendapat pesanan dari sejumlah instansi pemerintah daerah setempat, namun jumlahnya tak seberapa.
"Pesanan yang banyak malah dari kantor swasta ataupun sekolah-sekolah. Dari kantor Pemkot Madiun juga ada, namun hanya sedikit," kata dia.
Pihaknya berharap ada perhatian khusus dari Pemkot Madiun untuk usaha batiknya, terlebih bantuan peralatan. Siti sangat ingin, order besar datang dari kantor pemerintahan Kota Madiun sendiri, seperti batik untuk seragam karyawan misalnya.
Apalagi, Kota Madiun telah memiliki batik khas, yakni Batik Retno Kumolo yang motifnya terispirasi dari tokoh wanita zaman Kerajaan Mataram, Retno Dumilah.
"Selama menggeluti usaha batik sejak 10 tahun lalu, keadaannya ya begini-begini saja. Tidak mati, namun tidak juga berkembang pesat. Saya hanya berusaha bertahan dengan modal sendiri," terang ibu dari 10 anak ini.
Siti menerangkan, jika pesanan ramai, ia bisa membuat hingga 30 potong kain batik tulis dalam sebulan. Sedangkan untuk batik printingnya bisa mencapai 200 hingga 300 meter.
Untuk harga yang dipatok cukup bervariasi. Batik tulisnya dijual dari harga Rp125.000 hingga lebih dari Rp300.000 per potong. Sementara untuk batik printing, dijual seharga Rp25.000 per meter.
Batik-batik tersebut tidak hanya dijual di wilayah Madiun saja, namun juga di sejumlah luar kota di Pulau Jawa. Seperti Jakarta, Bandung, Batu, Malang, dan sejumlah kota di Jawa Tengah.
Siti menambahkan, selain permasalahn modal, hal lain yang membuat usaha batiknya sulit berkembang adalah tidak adanya regenerasi. Tidak ada warga sekitar yang ingin belajar dan menggeluti usaha batik. Pihaknya sering memberikan pelatihan batik bagi ibu-ibu PKK ataupun siswa sekolah, namun setelah itu tidak ada tindak lanjutnya.
"Meski keadaannya sulit, saya tetap ingin menekuni usaha batik ini. Alasannya, selain sudah menjadi pekerjaan saya selama belasan tahun, saya juga ingin melestarikan budaya bangsa ini," tuturnya.(*)