Hangatnya Kopi "Tulup" Lamongan
Jumat, 5 Oktober 2012 8:47 WIB
Lamongan - Bagi pecinta kopi yang sedang berekreasi ke obyek wisata di wilayah Pantura Lamongan tidak peduli laki-laki maupun perempuan, belum lengkap kalau tidak mencoba kopi "tulup".
Menu kopi itu, dengan mudah dijumpai di sejumlah warung di sekitar Wisata Bahari Lamongan (WBL), juga Gua Maharni, di antaranya salah satunya warung kopi milik pasangan suami istri Kastawi (75) dan Sartini (65).
"Saya sudah berjualan kopi puluhan tahun, ya begini ini tidak pernah berubah, proses kopinya dengan cara ditumbuk bukan di giling dengan mesin," tutur Kastawi, ketika ditemui sedang menumbuk kopi di dalam lumpang besi di warungnya.
Warung Kastawi, termasuk strategis, lokasinya berada di sebelah kanan Hotel Resor Tanjung Kodok, dan hanya berjarak sekitar 300 meter dari WBL.Di warung yang berdiri di atas tanah seluas 1 hektare itu, baik kendaraan roda dua, maupun roda empat, bisa parkir, dengan jumlah terbatas.
"Semua karyawan Hotel Tanjung Kodok, 'ngopinya' setiap hari selalu ke sini," jelas seorang pengunjung kopi Yayan (25), ketika sedang nongkrong menikmati kopi di warung setempat.Kopi "racikan" Kastawi dan Sartini, berbeda dengan kopi Selir Lamongan yang banyak dijumpai hampir di semua warung kopi di perkotaan di sepanjang jalan raya Lamongan-Surabaya.
Kopi Selir, proses pembuatannya menjadi bubuk kopi dengan cara digiling dengan mesin, sedang kopi "tulup" Kastawi dengan cara ditumbuk di dalam lumpang besi.Karena prosesnya melalui ditumbuk itu, tidak semua kopi bisa lembut, sehingga masih ada kopi yang "mringkil'mringkil" kecil, namun kopi itu tetap dicampur dengan kopi yang sudah lembut.
"Ya saya perkirakan saja, untuk menentukan kopi sudah lembut atau belum," ujarnya.Karena itulah, bagi siapa saja yang minum kopi di warung Kastawi, ketika mulai menyeruput baik secara langsung cangkirnya maupun "lepek", bisa menikmati kopi serpihan kecil kopi yang masuk ke mulut.
Mereka yang sudah terbiasa minum, bisa saja dikunyah langsung ditelan dan bagi belum terbiasa, terpaksa harus mengeluarkan serpihan kopi itu, dengan cara dilepas dari mulut mirip orang menulup. Seperti dijelaskan Kastawi, proses pengerjaan kopi di warungnya itu semuanya ditangani sendiri, mulai menggoreng dan menumbuk dengan lumpang besi, sama sekali tidak pernah untuk menghancurkan kopi yang sudah digoreng, dengan cara di giling dengan mesin.
"Kalau digiling rasanya tidak enak, dengan ditumbuk begini rasanya akan alami," tuturnya, sambil masih tetap menumbuk kopi dalam lumpang.Ia menyebutkan, omzet penjualan kopi di warungnya, minimal 1 kilogram/hari yang kalau diracik bisa menjadi 80 cangkir dengan harga Rp2.000/cangkir.
Proses menumbuk kopi itu, lanjutnya, membutuhkan waktu tiga jam untuk kopi goreng 1 kilogram dan pembuatannya dilakukan setiap hari."Saya setiap hari menumbuk kopi, tidak pernah memiliki stok kopi, sebab kalau terlalu lama rasanya juga tidak enak," jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pembeli kopi di warungnya, selain warga lokal, juga wisatawan yang berkunjung ke WBL, Gua Maharani atau menginap di Hotel Tanjung Kodok. Meskipun hanya berjualan kopi, bapak dua anak itu, mengaku, mampu menghidupi keluarganya, bahkan hasilnya bisa dimanfaatkan berangkat haji dan umroh.
"Saya berangkat haji pada 2.000, kalau umroh pada 2011. Ketika umroh warung dikelola keponakan, tapi banyak pelanggan protes, sebab rasa kopinya berubah, mungkin racikannya yang kurang," paparnya. (Slamet Agus Sudarmojo/blok_cepu2007@yahoo.co.id).(*)