Magetan (ANTARA) - Memulai pendakian Gunung Lawu setelah fase puncak fenomena Buck Moon atau Bulan Rusa Jantan yang terjadi pada Jumat (11/7) dini hari pukul 03.36 WIB, menyisakan pengalaman yang sungguh berbeda.
Cahaya bulan purnama masih terasa terang saat menemani pendakian pada Jumat malam, seolah menjadi lentera di jalan berbatu pada jalur pendakian Gunung Lawu melalui base camp Cemoro Sewu, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Bahkan, sebagian pendaki menyusuri jalur tanpa menyalakan headlamp.
Menjelang tengah malam, sepuluh orang peserta rombongan pertama Ekspedisi Lawu Bersama Media yang terdiri wartawan dan pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Magetan tiba di pos 3. Sementara sepuluh lainnya, masih di pos 2.
Sepuluh pendaki pertama itu segera mencari tempat untuk beristirahat. Shelter pos 3 yang luasnya sekitar 15 meter persegi terasa sesak, karena sudah ada pendaki lain yang lebih dulu memanfaatkan tempat itu.
Belum lagi carrier yang cukup memakan tempat. Mereka bersandar pada dinding. Kaki berselonjor saling bertabrakan. Terkadang tak sengaja menginjak kaki sesama pendaki.
Sunyi, nyaris tak terdengar suara. Tangan bersedekap menahan dingin meski saat kaki masih bergerak meniti jalur menanjak, suhu dua hingga tiga derajat Celcius tak terasa dingin.
Namun ketika duduk dan diam beberapa menit saja, udara dingin menelusup mencari celah dan dingin mulai menusuk-nusuk kulit di tengah gelapnya suasana dalam bangunan shelter pos 3, meski cahaya rembulan masih terang menyinari kawasan Gunung Lawu.
Jarak pos 3 menuju ke pos 4 sebenarnya hanya sekitar 800 meter, terpendek diantara jarak antarpos lainnya di jalur pendakian, yang kurang lebih sama dengan panjang jalan mengelilingi alun-alun Kabupaten Magetan.
Namun jangan membandingkan waktu tempuhnya. Mengelilingi alun-alun dengan kecepatan normal cukup dengan waktu delapan menit. Sedangkan meniti tanjakan terjal melintasi bebatuan besar berserakan bekas longsor yang terjadi 27 April 2022 di jalur pos 3 menuju pos 4 bisa memakan waktu lebih dari satu jam.
Dalam rundown yang disiapkan panitia, seharusnya rombongan beristirahat di shelter itu selama 3,5 jam. Pertimbangannya, peserta perlu menghilangkan rasa kantuk, menata kembali fisik dan mental untuk meniti jalur pos 3 menuju pos 4.
Jalur ini memang paling pendek tapi paling ekstrem dengan kemiringan kurang lebih 50 derajat.
Waktu yang diatur rundown sulit ditepati. Sudah banyak terpotong di perjalanan dari base camp Cemoro Sewu menuju pos 3. Seharusnya pukul 22.30 WIB peserta sudah sampai pos 3, namun peserta baru menapak di pada pukul 23.45 WIB.
Dua orang pemandu, Heri Cahyono dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Putra relawan Paguyuban Giri Lawu (PGL) sejak dari pos 1 sudah beberapa kali mengingatkan agar tak terlalu lama beristirahat di perjalanan.
Karena dalam suhu rendah, berdiam terlalu lama bisa menyebabkan kedinginan dan justru tubuh akan semakin merasakan lelah.
Betul juga. Suhu dingin mulai menyerang. Tubuh menggigil hingga dagu gemetar. “Ayo kita melanjutkan perjalanan lagi. Kalau terlalu lama beristirahat, bisa kedinginan dan bertambah lelah,” ajak Heri setelah peserta beristirahat sekitar 30 menit.
Peserta segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan menuju pos 4, pos 5, Sendang Drajat dan terakhir warung milik Giyar di kawasan puncak Hargo Dalem untuk beristirahat, tidur sambil menunggu sunrise.
Warung Giyar berada di dekat warung Mbok Yem yang meninggal pada 23 April 2025. Warung Mbok Yem melegenda karena merupakan warung pertama yang berada di kawasan berketinggian 3.150 mater di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.
Para pendaki menyebutnya warung tertinggi di Indonesia. Saat ini di lokasi tersebut terdapat empat warung.
Dini hari pukul 04.12 WIB warung Giyar masih longgar. Bangunan warung sekitar 75 meter persegi itu, sebagian besar diantaranya disediakan untuk beristirahat para pendaki dengan beralaskan tikar.
Hanya ada delapan orang pendaki yang lebih dulu masuk. Sebagian tidur di tikar, dan sebagian lagi menghangatkan tubuhnya dengan duduk di dekat bara api kayu bakar di depan tungku.
Sejumlah lampu bertenaga surya menyala. Menyinari setiap sudut warung. Memudahkan para pendaki mencari tempat untuk beristirahat. Berbeda dengan shelter pos 3 yang sempit dan gelap.
Peserta ekspedisi memesan minuman panas sebelum tidur. Wedang jahe, teh, kental manis jahe diharapkan bisa menghangatkan perut. Setelah itu suasana sunyi lagi. Tak ada suara selain dengkur dan kentut sejumlah pendaki yang lelap.
Pagi harinya beberapa peserta saling bercanda. “Waktunya enak-enak tidur, banyak serangan bom,” seloroh Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Dinas Kominfo Kabupaten Magetan, Eko Budiono mengomentari suara kentut.
“Bukan hanya bom, tapi juga banyak yang menggergaji,” kata peserta lain mengomentari suara dengkuran. Mereka pada terbahak mendengarkan candaan itu.
Puncak Hargo Dumilah
Setelah makan pagi dan menikmati sunrise, peserta melanjutkan pendakian menuju puncak Gunung Lawu yang juga dikenal sebagai puncak Hargo Dumilah.
Pendakian tanjakan terakhir ini tak dilakukan secara tergesa. Karena peserta tak ingin melewatkan keindahan pemandangan alam khas pegunungan yang disinari mentari pagi.
Hamparan rerumputan yang sebagian mulai mengering, juga dibarengi gugurnya dedauan dari pohon-pohon kecil setinggi dua hingga tiga meter. Hamparan edelweiss dengan bunganya yang memutih, menjadi pemandangan eksotis yang tak bisa ditemukan di perkotaan.
Sepagi itu kawasan puncak gunung yang berada di perbatasan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dengan Kabupaten Magetan berketinggian 3.265 mdpl sudah ramai.
Sejumlah pendaki dari berbagai daerah mengantre untuk berpose di tugu penanda titik tertinggi Gunung Lawu. Itu menjadi ritual setiap pendaki yang berhasil mencapai puncak.
Wajah peserta ekspedisi yang sebelumnya kusut kelelahan, berubah menjadi cerah, seperti mentari pagi yang menyinari kawasan. Dari puncak Lawu pendaki bisa memandang deretan puncak gunung di Jawa Timur, Gunung Semeru, Arjuno, Wilis dan Jawa Tengah, Merbabu, Merapi, Sindoro, serta Sumbing.
Belum lagi keindahan gunung-gunung dan bukit yang mengelilingi puncak Lawu. Sebagian terlihat samar karena tertutup awan. Namun tak lama kemudian menyembul memperlihatkan puncaknya setelah awan berlalu.

Bukan hanya para pendaki yang ingin menikmati pemandangan alam kawasan gunung Lawu. Lihat saja, banyak trail runner berseliweran berlari meniti jalur pendakian sambil menikmati udara sejuk dan pemandangan alam.
Sembari berlari, juga terlihat awan putih menghiasi lereng Lawu yang menyajikan sensasi berlari di atas awan, mungkin itu bisa disebut sebagai surganya para pelari.
Seorang trail runner bertelanjang dada dengan tongkat di tangan kanan, kakinya bergerak lincah melintasi jalur pos 3 dan pos 4 yang dini hari dilewati peserta ekspedisi dengan kaki gemetar.
Tak kurang dari 20 orang pelari yang berlarian di jalur pendakian itu. Saat berlari terkadang ada yang berhenti sejenak di spot yang bagus untuk berfoto.
Jalur pendakian Cemoro Sewu-Puncak Lawu cukup favorit bagi semua pendaki, para pelari trail dan pendaki tektok. Banyak diantara mereka mengunggah kegiatan lari trail di akun medsosnya.
Pada umumnya pendaki membutuhkan waktu antara delapan hingga 11 jam untuk menuju puncak Lawu melalui jalur Cemoro Sewu. Sedangkan bagi para pelari tak sampai tiga jam sudah sampai puncak.
Berlari sambil menikmati keindahan alam pegunungan kini nampaknya menjadi tren gaya hidup sebagian masyarakat. Gunung Lawu salah satu objeknya.
Kawasan lereng hingga puncaknya juga menjadi lintasan lari trail Siksorogo Lawu Ultra yang merupakan event tahunan internasional dengan start dan finis di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Tahun lalu digelar 30 November-1 Desember, dengan jarak tempuh 7 KM, 15 KM, 30 KM, 80 KM dan 120 KM. Tahun ini rencananya diselenggarakan 7-6 Desember.

Wartawan peserta ekspedisi bukanlah pendaki sejati. Sebagian dari mereka hanya pernah punya pengalaman mendaki, sebagian lagi bahkan belum pernah.
Maka tak perlu heran kalau dalam mengikuti kegiatan petualangan bersama pegawai Dinas Kominfo Magetan itu membutuhkan waktu cukup lama, total sekitar 10 jam. Ada beberapa diantaranya mengalami kram kaki, bahkan ada yang sampai muntah-muntah.
Dalam video penyemangat berdurasi 31 detik yang diunggah panitia di grup WA disertai narasi, "Langkah awal kami bukan hanya pendakian, tapi perjalanan menuju kolaborasi. Kami tiba di puncak bukan untuk menaklukkan tapi untuk mengabarkan keindahan."
Selama dua hari, Dinas Kominfo Magetan mengajak wartawan dalam kegiatan Ekspedisi Lawu Bersama Media bertema Menyatu Menuju Puncak Lawu selain bertujuan untuk berwisata petualangan dan berolahraga, juga untuk melihat langsung kegiatan para pendaki dan kondisi Gunung Lawu.
Sehingga diharapkan wartawan bisa mengabarkan kepada masyarakat tentang keindahan dan potensi Gunung Lawu lebih akurat, karena melihat langsung dan merasakannya sendiri.
"Dengan mengikuti kegiatan seperti ini, wartawan bisa melihat secara langsung kondisi Gunung Lawu, dan tahu bagaimana rasanya mendaki. Semoga setelah mengikuti kegiatan ini semakin banyak informasi yang diberikan oleh teman-teman wartawan kepada masyarakat tentang keindahan maupun potensi gunung Lawu," ujar Eko Budiono.
Dengan datang langsung ke lokasi, memang wartawan akan bisa mendeskripsikan keadaan sebenarnya dengan lebih akurat dan bukan hanya bergantung pada narasumber, mengutip media massa lain atau bahkan media sosial yang belum tentu benar.
Ernest Hemingway mungkin tak akan tahu buku apa yang sedang dibaca Benito Mussolini seandainya dia seperti wartawan lain hanya menunggu waktu saat menghadiri undangan konferensi pers.
Hemingway memberanikan diri berjinjit mendekati diktator Italia itu untuk melihat buku yang sedang dibaca. "Kamus Perancis-Inggris yang dipegang terbalik," tulis Hemingway kemudian dalam berita korannya.
