Jakarta (ANTARA) - Di tengah upaya serius pemerintah membangun citra diplomasi kemanusiaan yang kuat, sebuah unggahan video di media sosial justru menciptakan gangguan serius terhadap narasi resmi negara.
Video yang beredar di sebuah halaman Facebook menampilkan Presiden Prabowo Subianto sedang berpidato dengan narasi provokatif bertajuk: "Indonesia siap terlibat jika peperangan di Timur Tengah memicu perang dunia ke-3" dapat dikategorikan sebagai disinformasi yang dapat merusak stabilitas nasional, bahkan internasional.
Sekilas, video tersebut tampak seperti potongan dari siaran langsung resmi di kanal YouTube Sekretariat Presiden bertajuk “Keterangan Pers Presiden Prabowo, Lawatan ke Timur Tengah dan Türkiye, Jakarta, 9 April 2025.” Hanya saja, jika dicermati, narasi judul yang menyertainya sangat menyesatkan dan tidak mencerminkan isi pernyataan Presiden Prabowo secara utuh.
Dalam video aslinya, Presiden Prabowo tidak menyatakan Indonesia siap berperang. Sebaliknya, presiden menyampaikan bahwa Indonesia tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke lima negara di Timur Tengah, Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania, untuk membangun dukungan atas rencana evakuasi kemanusiaan.
Sebanyak 1.000 warga Palestina direncanakan akan dievakuasi dari Gaza ke Indonesia, sebagai bagian dari komitmen Indonesia terhadap isu kemanusiaan global.
Rusak reputasi
Disinformasi seperti ini bukan sekadar kesalahan teknis atau kekeliruan editorial. Ini adalah bentuk manipulasi informasi yang secara sistematis berpotensi merusak reputasi negara atau national branding, meruntuhkan kepercayaan publik (public trust), dan memecah konsensus nasional terhadap kebijakan luar negeri. Rekayasa semacam ini merupakan ancaman serius yang tidak dapat diterima.
Dalam situasi global yang sensitif, disinformasi bisa berujung pada salah tafsir yang fatal, baik di dalam, maupun luar negeri. Bahkan dapat mengganggu kehidupan demokrasi yang sedang diikhtiarkan menjadi lebih baik.
Prof Claire Wardle, pakar komunikasi internasional dari Brown University, dalam laporan Disinformation and Democracy (2023), menekankan bahwa disinformasi adalah ancaman strategis terhadap demokrasi. Ia bukan hanya menyesatkan, tetapi juga menciptakan noise informasi yang melemahkan posisi institusi, termasuk pemerintah.
Dalam kasus ini, disinformasi tidak hanya mendistorsi pernyataan presiden, tetapi juga merusak narasi besar tentang peran aktif Indonesia sebagai negara nonblok yang berposisi netral dalam konflik Timur Tengah.
Langkah Presiden Prabowo untuk mengambil peran diplomatik dalam konflik kemanusiaan Palestina adalah bagian dari positioning Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang kredibel dan dapat diterima oleh semua pihak.
Maka, ketika informasi tersebut dipelintir menjadi seolah-olah Indonesia bersiap untuk “terlibat dalam Perang Dunia Ketiga,” kerusakan yang ditimbulkan tidak main-main, baik terhadap persepsi publik domestik, maupun internasional.
Diseminasi informasi
Pemerintah perlu menyadari bahwa era informasi saat ini proses diseminasi informasi dituntut ketepatan, akurasi, dan konsistensi. Tanpa tiga hal ini, narasi resmi akan selalu kalah cepat dibandingkan narasi alternatif yang lebih sensasional di media sosial, meskipun tidak faktual.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah strategis yang perlu dipertimbangkan. Pertama, memperkuat komunikasi publik. Pemerintah harus mengoptimalkan semua kanal informasi resmi, baik melalui media arus utama, jaringan media pada kementerian dan lembaga, media sosial, maupun siaran langsung, untuk menyampaikan narasi secara jelas, cepat, dan dapat diakses publik luas.
Melalui agenda setting bersama setiap isu strategis sedapat mungkin dikelola secara baik dan didistribusikan dengan cara benar. Dalam hal ini Kantor Sekretariat Negara dan Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK) dapat menavigasi semua proses distribusi itu, dan bukan sekedar menjadi amplifier semata.
Kedua, membangun kolaborasi dengan platform digital. Facebook, YouTube, dan X (dulu Twitter) yang menjadi “hub” atau kanal utama penyebaran disinformasi. Kerja sama untuk mendeteksi, memvalidasi, dan menghapus konten menyesatkan seperti itu.
Poin ini harus menjadi agenda bersama, yang dituangkan dalam komitmen kerja sama, bukan sekadar imbauan moral. Dalam hal ini Kementerian Komunikasikan dan Digital (Komdigi) dapat mengatribusi spektrum kerja sama dengan semua platform secara sehat.
Ketiga, literasi digital masyarakat harus terus ditingkatkan. Edukasi publik tentang cara mengecek kebenaran informasi, memahami konteks berita, dan membedakan antara opini dan fakta merupakan bagian dari pertahanan jangka panjang melawan hoaks. Ini harus menjadi program kampanye edukatif di sekolah-sekolah secara lebih masif.
Keempat, pemanfaatan teknologi akal imitasi (AI) dapat diperkuat untuk melakukan pemantauan konten digital secara real-time. Dengan deteksi dini, konten seperti video manipulatif tersebut bisa segera direspons, diklarifikasi, dan diredam sebelum viral.
Hak untuk tahu
Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2098 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjamin hak masyarakat untuk tahu atau the right to know, dan berhak mendapatkan informasi valid dan benar.
Dalam hal ini, implementasi Undang-undang KIP terasa belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan publik. Padahal di tengah tsunami informasi saat ini, siapa yang paling mampu menjaga integritas komunikasi, dia yang akan memenangkan kepercayaan publik. Pemerintah, sebagai pengelola narasi resmi negara, tidak bisa lagi mengandalkan pola komunikasi pragmatis satu arah.
Sementara itu, dalam dunia digital, reputasi bisa hancur dalam hitungan jam. Maka, menjaga kebenaran bukan semata tugas tim komunikasi atau juru bicara, melainkan bagian dari tugas pokok penyelenggaraan pertahanan siber nasional yang dapat melindungi infrastruktur digital nasional.
*) Dr Eko Wahyuanto adalah dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta
Disinformasi, ancaman serius terhadap negara
Kamis, 10 Juli 2025 14:27 WIB
Presiden RI Prabowo Subianto memberikan pernyataan pers bersama dengan Presiden Brazil Lula da Silva di Istana Kepresidenan Brazil Palácio do Planalto, Brazilia, Brazil, Rabu (9/7/2025). (ANTARA/Andi Firdaus)
