Pakar: Saatnya Kembali ke Tempe Kara
Senin, 30 Juli 2012 15:06 WIB
Jember - Pakar pertanian dari Universitas Jember Prof Dr Achmad Subagio, MAgr mengemukakan bahwa meroketnya harga kedelai saat ini sudah saatnya dijadikan momentum oleh semua pihak untuk kembali ke asal muasal tempe yang terbuat dari kara.
"Tempe itu asli buatan Indonesia, tapi kedelai tidak. Kedelai itu bawaan dari China yang kemudian juga dibuat tahu. Dulunya, tempe itu dibuat dari kara," katanya kepada ANTARA di Jember, Jatim, Senin.
Ia mengemukakan bahwa naiknya harga kedelai yang berdampak pada keberlangsungan industri tempe, termasuk tahu, sama dengan masalah beras. Masalah kedua bahan pangan itu terjadi karena pemerintah terlalu fokus pada satu varian.
"Padahal di Indonesia ini sangat kaya bahan pangan. Untuk beras, kan banyak varian penggantinya, seperti jagung, sagu, singkong, termasuk kara. Industri kedelai juga begitu, semua menggunakan kedelai. Begitu kedelai mahal, muncul masalah," kata dosen Fakultas Teknologi Pertanian Unej ini.
Lulusan perguruan tinggi di Jepang ini mengemukakan bahwa dari sisi protein, kara di Jawa disebut koro, tidak berbeda jauh dengan kedelai. Dari sisi pola tanam kara lebih murah karena hampir tidak memerlukan pemupukan. Selain itu, pohonnya juga bisa tumbuh lagi setelah dibabat.
"Kara ini asli tanaman tropis dan bisa tumbuh di tanah marjinal. India sudah mengembangkan tanaman kara ini dan hasilnya bagus. Sementara untuk kedelai merupakan tanaman subtropis sehingga di Indonesia produksinya tidak akan bisa maksimal," kata penemu beras cerdas dari singkong ini.
Menurut dia, walaupun direkayasa seperti apapun, tanaman kedelai di Indonesia tidak akan bisa bersaing dengan produksi negara subtropis. Produksi kedelai di Indonesia tidak akan pernah bisa mencapai dua ton per hektare.
"Di Amerika Serikat, tanaman kedelai itu subsidinya luar biasa, produktivitasnya juga sangat tinggi dan harganya di bawah kita karena subsidi itu. Produk kita pasti kalah bersaing, apalagi kemudian bea impornya nol," katanya.
Karena itu, menurut dia, sangat tidak tepat jika menghadapi kenyataan meroketnya harga kedelai saat ini, sejumlah pemerintah daerah mendorong petani untuk berbondong-bondong menanam kedelai.
"Makanya sekarang perlu didorong untuk pembuatan tempe dari kara ini. Jenis kara ini di Indonesia ratusan, karena satu jenis saja variannya sangat banyak," katanya.
Ia bercerita bahwa era 1970-an dirinya masih merasakan tempe kara ini. Karena semuanya fokus ke kedelai, maka tempe kara tidak ada, termasuk tempe benguk.
Ia mengemukakan bahwa untuk mengembangkan tempe kara saat ini memang tidak mudah karena ketersediaan bahan bakunya sangat sedikit. Namun demikian, hal itu seharusnya dijadikan pendorong oleh pemerintah dan masyarakat untuk menanam bahan pangan yang sesuai dengan iklim tropis.
"Untung sekarang kami masih menemukan biji-biji kara dalam berbagai jenis, kalau tidak kan sayang. Kara ini memiliki banyak kelebihan dan kandungan karbohidratnya tinggi. Selain untuk tempe, banyak kegunaan kara ini, seperti untuk saus, kecap, penyedap rasa, susu dan lainnya," katanya.
Saat ini, katanya, FTP Unej sedang melakukan percobaan pembuataan tempe kara untuk menyikapi masalah tingginya harga kedelai tersebut. (*)