Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Guru Besar Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember Prof. M. Noor Harisudin menyoroti sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang rencananya akan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Maret 2025.
"Kami curiga dengan RUU KUHAP yang diduga mengandung ketimpangan serius karena alih-alih menjadi penyempurnaan, maka kitab undang-undang yang memuat peran aparat penegak hukum secara nyata-nyata mengandung potensi ketidaksetaraan peran dan kewenangannya," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa.
Ia mengaku kaget dengan hilangnya pasal penyelidikan dalam RUU KUHAP, padahal penyelidikan adalah hal yang krusial dalam rangka pelayanan dan menjaga hak asasi masyarakat (HAM) publik.
"Dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP dijelaskan bahwa penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang itu," tuturnya.
Sebagai bagian dari perlindungan dan jaminan HAM, lanjut dia, tujuan penyelidikan adalah untuk mengumpulkan bukti permulaan agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan, sehingga penyelidikan merupakan tindak pengusutan sebagai usaha dan menemukan keterangan dan bukti-bukti yang diduga merupakan tindak pidana.
"Penyelidikan merupakan bagian dari ketatnya proses acara di pengadilan, namun tempo penyelidikan yang tanpa ada batasan waktu dalam KUHAP (1981) juga perlu dikritik, sehingga usulan limitasi waktu penyelidikan yang proporsional dalam RUU KUHAP menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum para orang yang berperkara," katanya.
Pasal lain yang disoroti Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) itu yakni peran dominus litis jaksa dalam hirarki yang menempatkan jaksa sebagai aparat penegak hukum dengan berbagai kewenangan ganda (penuntut dan juga penyidik) yang terlihat dalam beberapa pasal RUU KUHAP.
"Tidak hanya itu, dalam Pasal 30 b juga mengatur tentang kewenangan jaksa melakukan penyadapan, sehingga sebelumnya kejaksaan hanya bisa memproses hukum pidana khusus yang berstatus extraordinary crime, korupsi atau HAM, maka dengan RUU KUHAP itu maka jaksa juga memegang domain penyidikan pidana umum," ujarnya.
Pakar hukum tata negara itu menilai bahwa kewenangan yang berlebih pada salah satu APH akan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) karena dengan kewenangan yang ada selama ini jaksa dan juga APH lainnya sudah banyak terjerat kasus, apalagi nanti jaksa punya kewenangan berlebihan.
"Saya berharap DPR tidak terburu-buru untuk mengesahkan RUU KUHAP dan wakil rakyat tersebut harus mendengar suara rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan," katanya.
Ia menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan undang-undang juga sudah dijamin dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Pengesahan RUU KUHAP itu nantinya dikhawatirkan akan kembali menjadi mundur ke jaman Herziene Inlandsch Reglement (HIR) zaman Belanda yang menempatkan polisi sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat)," ujarnya.
Noor Harisudin mengatakan bahwa beberapa penyempurnaan KUHAP memang dibutuhkan agar undang-undang itu relevan dengan zaman sekarang dan masa yang akan datang dan mengapresiasi RUU KUHAP itu sebagai bagian dari reformasi hukum di Indonesia karena ada pasal-pasal inovatif misalnya hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) dalam Pasal 29 yang sebelumnya tidak mendapat peran dengan lebih baik.
"Demikian juga pasal-pasal perkembangan yang menghubungkan KUHAP Edisi Revisi agar masyarakat dapat beracara di pengadilan dengan alat bukti elektronik (Pasal 175)," tuturnya.