Jakarta (ANTARA) - Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 menimbulkan keresahan dalam ruang kolektif. Apalagi rencana tersebut sudah mencapai peresmian dengan disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Meskipun dalam narasi terbaru disebutkan bahwa pajak tersebut hanya diperuntukkan barang mewah, namun ke depan, masyarakat juga harus waspada.
Jika dicermati daftar objek dan barang yang terkena pajak, sebagian besar berafiliasi langsung dengan aktivitas ekonomi masyarakat secara umum. Hal ini menjadi gambaran jika suatu saat PPN diterapkan sesuai rancangan awal, akan berdampak di berbagai lapisan dan sektor masyarakat.
Salah satu bidang yang cukup riskan terdampak adalah sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Sebagai suatu bentuk usaha, UKM sering kali memiliki distingsi yang besar dengan perusahaan besar. Jika perusahaan besar mampu resistensi melalui laba yang tinggi, sebaliknya UKM mengakomodir keuntungan yang jauh lebih sedikit.
Dengan logika kausalitas tersebut, kenaikan biaya produksi akibat peningkatan PPN dapat mengancam keberlanjutan usaha. Apalagi jika berpikir visioner jauh ke depan, apabila UKM perlahan mengalami depresiasi dan dekadensi, tentu saja berakibat pada lemahnya pertumbuhan ekonomi dan secara substansif mengurangi daya serap lapangan kerja.
Solusi atau masalah baru
Kenaikan PPN dan dampak yang membayang, jelas tidak ideal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Peningkatan harga kebutuhan pokok dapat menjadi beban yang signifikan dan mengurangi daya beli mereka. Situasi ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dan sosial di Indonesia, mengingat kelompok masyarakat ini sudah berada dalam kondisi rentan.
Menghadapi situasi tersebut, masyarakat bukan tanpa protes dan tuntutan. Berbagai petisi untuk mengkaji ulang kenaikan pajak telah didengungkan. Bahkan di aplikasi X, muncul berbagai pesan boikot untuk tidak membeli barang-barang di luar kebutuhan pokok.
Jika aksi boikot PPN 12 persen dengan menolak membelanjakan uang untuk barang-barang selain kebutuhan pokok benar-benar direalisasikan masyarakat, seperti disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, akan sangat merugikan masyarakat dan pemerintah.
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, menjelaskan bahwa APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya karena APBN itu harus berfungsi dan mampu merespon dalam episode global financial crisis. Selanjutnya, Sri Mulyani mengajak masyarakat untuk melakukan hidup hemat sebagai langkah strategis untuk menekan adanya dampak dari kenaikan pajak tersebut.
Hidup hemat atau frugal living sendiri dapat dimaknai sebagai pola hidup yang menekankan pada pengelolaan keuangan yang hemat dan bijaksana. Penerapan frugal living biasanya terorientasi terhadap pengeluaran yang terbatas, penting, dan membawa manfaat jangka panjang. Namun apakah siasat ‘frugal living’ menjadi solusi bagi kondisi negeri kita saat ini?
Menurut beberapa ekonom dan pengusaha, sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, penguatan relasi antara hidup hemat dan kondisi daya beli masyarakat dapat berdampak buruk bagi pemerintah.
Sebab bila tarif pajak terhadap objek dan transaksi barang jasa itu naik, sedangkan di sisi lain kondisi daya beli masyarakat melemah dan tertekan, terdapat beban ekonomi yang berat yang harus ditanggung negara, mulai dari meroketnya harga-harga hingga membuat lesu aktivitas ekonomi domestik.
Secara spesifik, untuk kenaikan harga-harga akibat naiknya tarif PPN, mendapat peringatan tegas oleh Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman, yang menyatakan harga makanan dan minuman sangat sensitif terhadap perubahan harga dan langsung berdampak kepada konsumen meskipun PPN hanya naik 1% pada 2025.
Jalan filosofis
Berangkat dari beban ekonomi yang terjadi karena kenaikan PPN 12 persen, kita dapat menghantarkan diri pada pembahasan aspek psikologis masyarakat. Bagaimanapun seruan untuk ‘frugal living’ pada masyarakat akan memberikan dampak depresif dan pesimistik.
Sebagaimana perspektif filsuf ‘kehendak’ (psikolog awal), bahwa manusia lebih banyak dikendalikan oleh pikiran bawah sadar atau hasrat, maka seruan hidup hemat sama saja bentuk kartrasi bagi kehendak. Lalu jika ‘hasrat’ dipangkas secara mendadak, yang terjadi jelas perasaan chaostik.
Dalam kondisi demikian, ucapan Arthur Schopenhouer (1788—1860) seolah kian menemukan korespondensinya, bahwa “keinginan selalu tak terhingga tapi kemungkinan-kemungkinan untuk memenuhinya terbatas,” Inilah sumber depresi dan pesimis manusia.
Sebab bagi Schopenhouer, setiap manusia selalu didorong oleh kemauan, kita selalu menginginkan, dan kemauan itu adalah sumber kehidupan sekaligus penderitaan manusia. Karena kita terus-menerus menginginkan sesuatu, kita juga terus-menerus merasa sedih, apalagi dengan kondisi ekonomi hari ini, lebih banyak hal-hal yang kita inginkan tidak dapat dimiliki.
Selain itu, kesadaran memperburuk situasi, karena makhluk yang sadar mengalami rasa sakit ketika memikirkan ketakutan di masa depan.
Apalagi jika masyarakat diam-diam membuka harapan pada pemerintah terkait potensi strategis melalui subsidi masyarakat yang terdampak dan insentif bagi UKM. Jika tak mencapai hasrat, harapan ini hanya akan menjadi salah satu anasir dari rasa kecewa yang berlipat ganda.
Di posisi inilah realitas kehidupan manusia, menghadapi hasrat yang tidak berhenti di satu sisi, dengan ketidakmampuan pemenuhan ekonomi masyarakat di sisi yang lain.
Maka pada tulisannya Dunia sebagai Kehendak dan Representasi, Schopenhauer mulai menyusun sistem etikanya. Mengambil inspirasi yang agak unik dari agama Buddha dan Hindu, perspektif etika ini didasarkan pada welas asih melalui penolakan kehendak.
Ia percaya bahwa hasrat menyebabkan penderitaan dan, akibatnya, ia menyukai asketisme —gaya hidup yang meniadakan hasrat atau menyangkal kehendak.
Dalam bentuknya yang paling ekstrim, asketisme mengarah pada kematian yang dipilih secara sukarela karena kelaparan, satu-satunya bentuk bunuh diri yang bagi Schopenhauer kebal terhadap kritik moral.
Nukilan ini sekalipun jatuh pada pemaknaan filosofis, namun dalam kondisi depresif menjadi penting untuk menunjukkan jalan bagi perasaan-perasaan yang terjebak dalam labirin pesimisme menghadapi hidup. Terutama terhadap masyarakat Indonesia hari ini yang harus mengebiri pemenuhan kebutuhan pokok hidupnya.
Membicarakan keresahan ini, penulis teringat pada sabda seorang filsuf eksistensialisme, Nietzsche. Ia memberikan gambaran bagaimana menghadapi hidup yang sulit dengan cara yang berani, yaitu dengan ‘amor fati’. Amor fati sendiri merupakan istilah dari bahasa Latin yang berarti “mencintai takdir”, walau takdir hadir dengan begitu brutal.
Sebagaimana seruan Sri Mulyani bagi kita untuk hidup hemat dan mengurangi pembelian tidak penting, bukankah harus kita harus terima dengan ikhlas dan lapang dada?
*) Angga T. Sanjaya, Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD, Pendamping komunitas Luar Ruang.
Kenaikan pajak dan "frugal living"
Oleh Angga T Sanjaya *) Jumat, 27 Desember 2024 15:42 WIB