Malang (ANTARA) - Universitas Brawijaya (UB) memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan yang berkelanjutan secara maksimal, baik pengawasan maupun konservasi.
Koordinator Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) sekaligus Manajer Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola Kawasan Hutan UB Forest, Rifqi Rahmat Hidayatullah, menjelaskan, inovasi ini lahir dari berbagai tantangan dalam pengawasan UB Forest seluas 544,74 hektare di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
"Salah satunya yakni keterbatasan perangkat kamera jebak konvensional yang masih menggunakan baterai dan memori manual, serta sulitnya akses jaringan di kawasan hutan," katanya di sela Bincang dan Obrolan Santai (Bonsai) Bersama Pakar UB di Gedung Widyaloka kampus UB di Malang, Jawa Timur, Rabu.
Baca juga: Kementerian LH gandeng UB maksimalkan rehabilitasi lahan mangrove
Gelaran Bonsai Bersama Pakar UB dengan tema “Inovasi Teknologi IoT untuk Pengelolaan Hutan” itu sekaligus memperkenalkan teknologi yang melibatkan aplikasi berbasis IoT, yang mampu mendeteksi aktivitas, seperti keberadaan satwa liar, manusia atau kendaraan menggunakan kamera jebak (camera trap), dan algoritma AI.
Ia mengatakan sistem baru ini menggunakan protokol komunikasi Long Range (LoRa), yang memungkinkan pengiriman data dalam kondisi tanpa sinyal GSM. Dengan teknologi LoRa, data yang dikumpulkan bisa dikirim ke pusat kontrol melalui jaringan jarak jauh, meskipun berada di tengah hutan yang sulit sinyal.
Rifqi mengemukakan bahwa teknologi ini memiliki tiga keunggulan utama. Pertama, efisiensi dan akurasi monitoring yang mampu mendeteksi ancaman, seperti penebangan pohon ilegal.
Kedua, integrasi AI dan IoT menggunakan teknologi You Only Look Once (YOLO) untuk mendeteksi objek dengan cepat dan ketiga, dukungan terhadap pengelolaan berkelanjutan yang sesuai dengan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) UB Forest.
Hanya saja, kata Rifqi, alat ini masih dalam tahap prototipe dan tim UB terus melakukan riset dan pengembangan untuk menyempurnakan sistem tersebut. Rencana implementasi alat ini dijadwalkan mulai tahun 2025, dengan evaluasi keberlanjutan pada 2026.
Ke depan, lanjutnya, UB berencana menambahkan fitur drone untuk meningkatkan cakupan pengawasan, terutama di area dengan kontur hutan yang sulit. Selain itu, setiap 200 meter di kawasan hutan akan dipasangi perangkat jaringan pengawasan yang lebih rapat.
Sementara itu, Kepala Laboratorium IoT dan Human-Centered Design (IoT & HCD) Fakultas Vokasi UB, Rachmad Andri Atmoko, menambahkan, sistem berbasis LoRa ini dirancang agar aplikasi tetap berfungsi dalam kondisi lingkungan hutan yang kompleks.
“LoRa bekerja seperti radio komunikasi dengan frekuensi rendah, cocok untuk kawasan dengan vegetasi tebal dan kelembapan tinggi,” katanya.
Perangkat ini, katanya, dilengkapi fog computing, teknologi yang memungkinkan pemrosesan data langsung di perangkat sebelum dikirim ke pusat data berbasis cloud.
Dengan baterai 12 volt yang dapat bertahan hingga 15 hari, perangkat ini diperkuat dengan panel surya untuk memastikan daya. “Keunggulan lainnya adalah fitur antipencurian dengan sensor getaran. Alat ini mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan di jalur-jalur luar hutan,” ucapnya.
Kepala UPT Pengelola Kawasan Hutan (UB Forest), Mochammad Roviq mengatakan UB Forest berperan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk pendidikan dan pelatihan, sekaligus pusat penelitian dan pengembangan.
“KHDTK ini juga menjadi laboratorium hidup untuk mendukung konservasi satwa liar dan keberlanjutan lingkungan. Kami berencana melakukan pelacakan jejak macan kumbang sebagai bagian dari upaya pelestarian fauna,” katanya.