Ngawi (ANTARA) - "Sejarah bukanlah malam di mana semua kucing berwarna abu-abu," tulis sejarawan Jerman Leopold von Ranke, abad XIX.
Perjuangan meraih kemerdekaan selama ini selalu diidentikkan dengan pertarungan bersenjata yang gegap gempita. Perjuangan untuk merdeka selalu dicitrakan sebagai arena banjir darah dan tindakan heroik dalam kilatan belati dan desing peluru.
Padahal, sebenarnya jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan diproklamirkan, perlawanan dan hasrat merdeka telah diperjuangkan melalui kalam alias kata. Sudah sejak tahun 1887--1930-an, para budayawan dan intelektual kita telah mulai memperbincangkan, memperdebatkan, menggagas, bahkan memperbantahkan dengan kritis, tajam, namun dengan dada terbuka hasrat untuk merdeka ini.
Dimulai oleh para guru, pada tahun 1887 lewat majalah-majalah pendidikan, seperti "Soeloeh Pengadjar" yang terbit di Probolinggo, dan majalah "Taman Pengadjar" yang terbit di Semarang (1889), dilontarkan kritikan keras pada pemerintah Kolonial.
Para guru itu menuntut penghapusan diskriminasi dalam pendidikan serta perjuangan Boemi Poetra. Dan pada akhir abad 19 muncullah untuk pertama kali organisasi pribumi yang didirikan oleh para guru, dengan nama Mufakat Guru. Tujuan dari perkumpulan Mufakat Guru ini mengajak para guru bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan kemadjoean bangsa.
Tidak beberapa lama imbas dari tulisan para guru tersebut segera muncullah para jurnalis pribumi yang berasal dari kalangan terpelajar, di antaranya yang paling terkemuka ialah Rivai Apin (lahir 1871) dan RM. Tirto Adhi Soerjo (1880-1918). Mereka melanjutkan tradisi perjuangan kritis para guru, berjuang melalui aksara atau kata.
Baca juga: Khofifah bersyukur Reog Ponorogo diakui UNESCO
Salah satu tulisan jurnalisme menarik yang ditulis oleh Abdul Rivai, bagaimana ia melaporkan semangat perjuangan para pemuda pelajar Indonesia di negeri Belanda., Tersebutlah sejumlah mahasiswa dan pelajar Indonesia (Hindia Belanda) yang sedang menimba ilmu di Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia berkumpul di Leiden.
Mereka tersebar dari berbagai kota di Belanda, ada yang indekos di Den Haag, Delft, Rotterdam, Leiden dan Wageninggen. Anggota-anggota organisasi pelajar yang dulu bernama "Indonessische Vereeniging" yang kemudian pada 1924 resmi berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia itu menggagas, berdiskusi, dan berdebat dalam upaya membebaskan diri dari cengkeraman kolonial.
Dalam pertemuan itu sengaja ditonjolkan simbol-simbol budaya yang merujuk pada identitas kenasionalan dan membuang segala atribut yang berbau Belanda. Mereka, bahkan menyebut pertemuan itu dengan istilah "selamatan".
Istilah selamatan ini dalam konteks kebudayaan Nusantara mengandung pengertian akan sebuah pertemuan yang guyub, akrab, penuh persaudaraan, bahkan mengandung unsur spiritual. Bahasa yang digunakan dalam pertemuan itu adalah Melayu dan Jawa, bukan bahasa Belanda. Makanan-makanan yang disajikan, semua khas Indonesia, mulai dari tiwul, ketela, sagu, juga rempah.
Cara makan mereka muluk alias menggunakan tangan, tidak menggunakan sendok. Sebentuk perlawanan yang totalitas terhadap penjajahan. Mereka juga bergotong royong, mulai dari urusan makan hingga urusan bersih-bersih. Semuanya made in Indonesia.
Dalam tulisan reportase bertajuk Student Indonesia di Eropa, Abdul Rivai melaporkan, "Kopinja boekan kopi saringan, tetapi kopi toebroek, sebab, kopi ini, kata mereka nationaal, goelanja goela Djawa. Soesoe tidak dipakai, sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot. Selamatan nationaal ini teroes berlangsoeng sampai pagi".
Pada laporan jurnalisme Rivai ini tampak bahwa keretek kelobot dan kopi tubruk dianggap menjadi simbol budaya yang mewakili identitas kebangsaan. Klobot, rokok keretek asli Nusantara berupa daun jagung (kelobot) yang di dalamnya ada rajangan "mbako" (tembakau Jawa) dicampur dengan cengkeh, rempah-rempah asli Nusantara beserta kopi tubruk berfungsi, tidak sekadar isapan, minuman, atau kenikmatan, namun menjelma sebagai simbol untuk mengungkapkan perasaan nasionalisme dan solidaritas kebangsaan.
Perdebatan-perdebatan kritis itu merupakan proses menjadi nation (bangsa) bernama Indonesia yang kelak merdeka. Di tahun-tahun itu terdengar nama-nama Dr. Wahidin, Dr. Sutomo, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, M. Yamin, Mr. Sartono, dan banyak lagi, yang secara intens berpikir kritis tentang sebuah nation yang merdeka.
Pada tahun-tahun 1920--1930-an itu tumbuh kesadaran bahwa berbicara tentang negara berarti pada hakikatnya berbicara tentang kebudayaan dalam arti makro, di mana mulai dijajagi berbagai alternatif bentuk nasionalisme yang ideal, kelak jika kemerdekaan yang mereka perjuangkan itu telah maujud.
Periode generasi 1930-an, generasi yang masyhur dengan generasi Poejangga Baroe ini, para intelektual bangsa, budayawan, sastrawan, dan politikus makin menajamkan perbincangan kritis sosok nasional Indonesia. Perdebatan-perdebatan pemuda-pemuda Sutan Takdir Alisyahbana, Armyn Pane, Sanusia Pane dengan tokoh-tokoh sepuh, seperti Ki Hadjar Dewantara, Poerbatjaraka, dan lain-lain yang masyhur disebut Polemik Kebudayaan--- menjadi momentum penting bagi landasan kebudayaan Indonesia.
Selanjutnya pada Generasi 45-an, lahir Surat Kepercayaan Gelanggang, konsep kebudayaan yang bertekad memandang diri bangsa sebagai ahli waris kebudayaan, yang berarti mentasbihkan diri pada upaya pencarian terus menerus, merupakan suatu wujud semangat nasionalisme dalam bentuk perjuangan pemikiran.
Setahun setelah gaung Proklamasi, Mohammad Hatta menyampaikan sebuah pidato pemikirannya tentang kebudayaan Indonesia. Dikatakannya bahwa kalau Indonesia ingin benar-benar dapat dan mampu menjadi dunia baru yang demokratis, maka kebebasan menjadi pilar yang mahapenting.
Sebagai negarawan besar, Bung Hatta melalui pidatonya itu merasa berkewajiban mengingatkan secara implisit bahwa rasa dan semangat kebangsaan dan nasionalisme juga menyimpan bahayanya sendiri.
Dengan perasaan identitas nasional itu seseorang individu atau negara dapat dengan rela melakukan kekerasan terhadap orang atau negara lain. Nasionalisme dapat dijadikan pembenaran bagi seseorang untuk mengorbankan jiwa raganya, juga jiwa raga orang lain, dan lahirlah pemeo-pemeo heroik, seperti "sedumuk bathuk senyari bumi totohane pati", "Deutschland uber alls, right or wrong is my country", dan ungkapan lain yang senada.
Apabila perasaan superior melewati batas, nasionalisme menjelma menjadi "iblis" yang menakutkan bagi nation yang lain. Jadilah sebuah kembar siam abadi, nasionalisme-kolonialisme.
Jauh-jauh hari, Soekarno, salah seorang peletak dasar nasionalisme kita, melalui tulisannya yang berjudul Ke Arah Persatuan! Menjambut Tulisan H.A. Salim (1928), mengingatkan bahwa nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme yang timbul dari kesombongan atau chauvanisme, melainkan tumbuh dari kesadaran rasa-hidup sebagai suatu bakti.
Nasionalisme dipandang oleh Soekarno muda sebagai bakti karena menerima kesadaran bernegara sebagai wahyu Tuhan. Dari tulisan Soekarno itu jelas bahwa nasionalisme kita sama sekali tidak bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara super yang melebihi bangsa lain.
Nasionalisme Indonesia lebih diarahkan sebagai spirit untuk membentuk masyarakat-bangsa yang kuat, bukan negara-kuasa yang kuat, apalagi melahirkan orang kuat.
Belum 30 tahun Soekarno mengucapkan konsep demokrasi Indonesia itu, tampuk kekuasaan negara yang dipegangnya mengubah wajah nasionalisme tidak lagi menjadi spirit membentuk masyarakat-bangsa yang kuat, tetapi lebih cenderung tampil sebagai konstruksi sentimental yang menghipnotis orang banyak sehingga melahirkan kultus orang kuat.
Penggantinya, Soeharto dengan Orde Baru yang semula dianggap sebagai fajar baru dari nasionalisme Indonesia, tidak sampai 20 tahun mengulangi kesalahan serupa. Masa-masa penuh gairah pemikiran, dialog kritis, dan polemik yang demokratis, dan impian Hatta menguap dalam era demokrasi terpimpin Orde Lama dan pada masa Orde Baru.
Mungkin benar yang dikatakan Immannuel Kant, bahwa kebebasan adalah inheren dalam eksistensi manusia, namun paling kerap diberangus oleh sejarah.
Saat ini, setelah hampir 80 tahun kemerdekaan, nasionalisme kita paling tidak menghadapi dua tantangan besar. Pertama, tantangan kecenderungan akan menguatnya primordialisme yang dapat meluluhlantakkan bangunan persatuan komunitas bangsa.
Tantangan ini memaksakan sebuah agenda bagaimana memperkuat wawasan kebangsaan untuk berhadapan dengan orientasi-orientasi primordial yang kelewat eksklusif dan menggerogoti keterikatan hati terhadap rasa kebangsaan.
Hal ini tentu saja tidak berarti menafikan keberagaman dan pluralitas, karena justru dengan memahami, menginsafi, dan membangun pluralitas maka primordialisme dapat dicegah. Membangun pluralitas berarti membuka dialektika di antara pluralitas yang ada sehingga dapat tercipta transformasi budaya etnik ke budaya negara-bangsa.
Tantangan kedua, adalah mengembalikan nasionalisme pada khitahnya semula, yakni nasionalisme sebagai spirit untuk membentuk masyarakat-bangsa yang kuat. Untuk itu perlu dibuka dan disegarkan kembali ruang-ruang yang dapat menumbuhkan semangat dan suasana egaliter untuk melahirkan partisipasi rakyat.
Masyarakat-bangsa akan maju dan kuat jika digerakkan oleh dinamikanya sendiri, sedangkan dinamika tidak mungkin tercipta maksimal tanpa partisipasi rakyat. Dengan demikian akan muncul kembali era-era pemikiran, dunia gagasan, perdebatan, dan polemik intelektual.
Akhirnya, membaca kembali kemerdekaan, berarti belajar dari sejarah, belajar membaca lagi keindonesiaan kita, sekaligus mengingatkan kembali bahwa perjuangan membangun kemerdekaan tak pernah usai, bahkan ketika kebebasan negara terhadap penjajah telah diraih. Merdeka!
*) Dr Tjahjono Widijanto adalah penyair dan esais, dan pendidik di SMA di Ngawi, Jawa Timur. Alumnus program doktoral Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surakarta (UNS).
Editor: Achmad Zaenal M