Surabaya (ANTARA) - Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur (Jatim) Periode 2022-2026 Suko Widodo menyatakan melihat kondisi fiskal Jatim ke depan akan berat jika alokasi anggaran pendidikan dipatok sebesar 35 persen, seperti janji calon gubernur nomor urut 3 Tri Rismaharini.
Suko di Surabaya, Senin, mengatakan dalam mengatur alokasi anggaran harus disusun berdasarkan kondisi pendapatan yang ada dan disesuaikan dengan proporsi yang sesuai dengan mandat undang-undang.
"Merujuk UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu mandat belanja untuk pendidikan minimal 20 persen dari total APBD. Jawa Timur selama lima tahun ini selalu lebih dari 20 persen," kata Suko.
Untuk itu Suko menyebutkan alih-alih akan meningkatkan alokasi anggaran pendidikan ke depan, ia lebih mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat, sektor industri, dan usaha untuk berperan aktif dalam pembangunan pendidikan Jatim.
"Saya lebih mendorong untuk memaksimalkan prakarsa masyarakat di dunia pendidikan agar pendidikan kita tumbuh dan berkembang, dan itu sesuai dengan UU Sisdiknas, dimana masyarakat dunia usaha dan industri ikut berperan dalam peningkatan kualitas pendidikan Jatim," tuturnya.
Bentuknya, kata dia, dalam program magang, Corporate Social Responsibility (CSR) untuk infrastruktur lembaga pendidikan, kerja sama pelaksanaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) guru maupun siswa, atau dalam bentuk bantuan hibah dan seterusnya.
"Itu akan lebih bermanfaat dan sengkuyung seluruh elemen juga akan terwujud. Ini penting karena ke depan kita akan menyongsong Indonesia Emas 2045. Upaya meningkatkan kualitas SDM kita tidak boleh hanya mengandalkan pemerintah. Sektor swasta juga harus turut andil," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bappeda Jatim M Yasin menjelaskan dalam penyusunan APBD, ada acuan terkait mandatory spending, dimana semua proporsi alokasi anggaran diatur dalam undang-undang dalam bentuk belanja wajib. Dengan acuan itu, porsi belanja daerah harus menyesuaikan dengan ketentuan tersebut.
"Sebagai contoh mandatory spending tersebut adalah belanja pendidikan minimal 20 persen, belanja pegawai maksimal 30 persen, padahal di Jawa Timur beberapa Kabupaten dan Kota belanja pegawainya masih lebih dari 30 persen," kata Yasin.
Selain itu juga ada mandatory spending untuk belanja infrastruktur minimal 40 persen, belanja pengawasan minimal 0,3 persen, belanja peningkatan kapasitas aparatur SDM minimal 0,34 persen, dan belanja pemeliharaan jalan dan keselamatan transportasi minimal 10 persen dari pendapatan pajak kendaraan bermotor.
Selain itu juga ada kewajiban belanja kesehatan, kata Yasin, meskipun tidak masuk mandatory spending, kesehatan harus dialokasikan minimal 10 persen karena merupakan pelayanan dasar. "Dari hitung-hitungan ini saja maka porsinya sudah habis. Sementara belanja bidang sosial, pemerintahan, perekonomian, pertanian, kemiskinan, dan lain-lain juga perlu mendapatkan perhatian dan prioritas daerah," ujarnya.
Belum lagi ada potensi penurunan pendapatan pada tahun 2025 akibat berlakunya UU Nomor 1 Th 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang akan menyebabkan terjadi potensi penurunan pendapatan Jatim sekitar Rp4 triliun lebih. Sebab aturan ini mengatur adanya perubahan bagi hasil dan opsen pajak kendaraan bermotor antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Yasin mengatakan selama lima tahun terakhir belanja pendidikan di Jatim porsinya paling besar di antara sektor lainnya. Alokasi belanja pendidikan di Jatim tidak pernah di bawah 20 persen.
"Di Tahun 2019 - 2021 anggaran pendidikan Jawa Timur mencapai lebih dari 30 - 33 persen. Karena Dana Transfer Biaya Operasional Sekolah untuk SD dan SMP masih dialokasikan melalui APBD Provinsi," kata Yasin.
Sedangkan untuk tahun 2022 - 2024 porsi belanja pendidikan mencapai 24 - 26 persen. Bahkan rancangan APBD 2025 belanja pendidikan direncanakan naik signifikan melebihi 30 persen.