Ubaya-Petra Pertanyakan Keilmiahan SE Jurnal Ilmiah
Senin, 20 Februari 2012 9:02 WIB
Surabaya - Universitas Surabaya (Ubaya) dan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya mempertanyakan standar ilmiah atau keilmiahan dari Surat Edaran (SE) Ditjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3.
"Jurnal ilmiah itu harus memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah, yakni karya itu harus melalui proses uji dari 1-2 reviewer dan jurnal ilmiah yang memuatnya pun harus terakreditasi," kata Rektor Universitas Surabaya Prof Joniarto Parung PhD kepada ANTARA di Surabaya, Senin.
Menurut dia, bila tidak seperti itu berarti jurnal ilmiah itu tidak berkualitas secara ilmiah. "Jadi, tidak mudah, tapi kalau kualitas keilmiahan itu dijadikan syarat kelulusan, maka mahasiswa akan sulit memenuhi kualitas itu, sehingga kelulusannya akan tertunda," katanya.
Apalagi, katanya, di Indonesia ada 16.000-an program studi. "Anggap saja setiap prodi itu meluluskan 50 orang setiap tahun, maka akan ada 800.000 mahasiswa yang akan lulus S-1 dalam setiap tahun," katanya.
"Kalau paper itu minimal delapan halaman, maka akan ada 6,4 juta lembar paper. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi reviewer (penguji) bagi 800.000-an paper. Bisa jadi, dosen nggak sempat mengajar," katanya.
Bila dipaksakan dengan jurnal elektronik tanpa reviewer, maka paper yang terbit akan "asal membuat" tapi kebijakan itu bisa diterapkan untuk dosen dan dosen yang aktif menulis diberi "reward" sehingga dia akan semakin aktif. "Jadi, jangan kebijakan dadakan dan asal-asalan," katanya.
Senada dengan itu, Kepala Perpustakaan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Aditya Nugraha menyatakan tidak setuju kewajiban itu untuk S1 dan S2, karena standar keilmiahan belum dapat dipenuhi oleh mereka.
"Lulusan S1 itu umumnya tidak selalu menulis skripsi ilmiah dan lulusan S2 juga bisa memilih jalur non-akademis, apalagi kalau dikaitkan dengan reviewer, karena syarat reviewer itu sulit dan bahkan tidak semua dosen itu bisa menjadi reviewer," katanya.
Tentang jurnal online sebagai alternatif, ia menyatakan jurnal online juga tetap memerlukan reviewer. "Kalau tidak begitu ya berarti bukan jurnal ilmiah. Tim reviewer itu meliputi 2-3 orang yang ahli di bidangnya," katanya.
Oleh karena itu, ia menyoroti kebijakan jurnal ilmiah itu dari dua aspek yakni sumber daya manusia "reviewer" (penguji) dan definisi ilmiah yang dimaksud dalam surat edaran itu.
"Syarat reviewer itu sulit, bahkan jurnal ilmiah itu juga bukan sekadar meringkas skripsi, karena tidak semua skripsi itu memenuhi standar ilmiah yang bisa masuk jurnal ilmiah," katanya.
Untuk program S2 juga masih sulit, karena S2 itu bersifat abu-abu. "Peserta program S2 itu ada yang akademis tapi ada juga yang profesional, karena itu saya lebih setuju jurnal ilmiah itu untuk program S3 yang memang wajib meneliti dan penguasaan bahasa Inggris juga ada," katanya.
Alternatifnya, pemerintah sudah harus menyiapkan sumber daya manusia dengan mendidik peneliti baru, seperti yang dilakukan Yohanes Surya yang melatih pelajar untuk mengikuti olimpiade sains. (*)