Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menilai putusan bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan serta meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas, namun tajam ke bawah.
"Putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada terdakwa Gregorius Ronald Tannur telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban dan keluarganya," kata anggota Komnas Perempuan Tiasri Wiandani, saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Komnas Perempuan mendukung jaksa penuntut umum (JPU) untuk mengajukan upaya hukum kasasi dan meminta Badan Pengawasan MA (Bawas MA) serta Komisi Yudisial (KY) untuk memberikan perhatian dan pengawasan terhadap kasus ini sebagai upaya pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan korban dan keluarga korban.
Tiasri Wiandani menyampaikan peristiwa penganiayaan yang menyebabkan kematian korban pada Selasa, 3 Oktober 2023, menunjukkan proses yang disengaja untuk menimbulkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa terhadap korban, yaitu pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan menunda membawa korban ke rumah sakit.
"Rangkaian penganiayaan ini menunjukkan bahwa ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida, yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacar-nya," katanya.
Pada Rabu (24/7), majelis hakim PN Surabaya, Jawa Timur, membebaskan Gregorius Ronald Tannur yang merupakan putra dari mantan salah satu anggota DPR RI Edward Tannur, dari segala dakwaan dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kekasihnya bernama Dini Sera Afrianti, meninggal dunia.