Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Kasus stunting menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Jember, Jawa Timur, karena jumlah bayi dan anak usia di bawah lima tahun (balita) di wilayah setempat yang mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang, masih cukup banyak.
Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 tercatat angka prevalensi stunting di Kabupaten Jember naik 11 poin dengan angka prevalensi stunting 34,9 persen atau sekitar 35.000 balita, sehingga menjadikan kabupaten ini memiliki kasus stunting dan angka kematian ibu juga tinggi.
Beragam program, inovasi dan terobosan hingga regulasi dilakukan Pemkab Jember dalam upaya mencegah dan menurunkan angka stunting secara bertahap dari hulu hingga hilir.
Baca juga: "Wujudkan Zero Growth Stunting, Pemkab Jember wajibkan ASN miliki anak asuh"
Bahkan tidak tanggung-tanggung alokasi anggaran yang disediakan oleh Pemkab Jember pada tahun 2023 mencapai Rp97 miliar yang tersebar di beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) yang terlibat dalam penanganan percepatan penurunan dan pencegahan stunting.
Pemerintah daerah setempat terus melakukan berbagai upaya guna mencegah terjadinya kasus stunting baru, salah satunya dengan memperketat syarat pernikahan anak.
Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Indonesia menyebutkan salah satu penyebab masalah stunting di Indonesia adalah maraknya pernikahan dini, apalagi saat ini banyak pihak yang menganggap pernikahan dini sebagai hal biasa.
Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia 19 tahun
Bupati Jember Hendy Siswanto menerbitkan beberapa surat edaran (SE) sebagai langkah konkrit dalam penguatan untuk mencegah terjadinya stunting baru, karena persoalan stunting harus ditangani dari hulu hingga hilir dengan melibatkan banyak pihak.
SE tentang Pelayanan Permohonan Dispensasi Kawin yang terbit pada 19 Maret 2024 mengatur syarat tambahan bagi anak-anak usia di bawah 19 tahun yang akan menikah, sehingga hal tersebut dapat memperketat anak-anak yang menikah di usia muda.
Persyaratan tambahan yang membuat pengajuan dispensasi kawin untuk anak semakin diperketat adalah adanya surat rekomendasi sehat dari Dinas Kesehatan atau puskesmas , kemudian surat rekomendasi dari psikolog terhadap pasangan calon pengantin, apakah mereka dinyatakan sudah siap menikah atau belum.
Calon pengantin juga harus mendapatkan rekomendasi dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB).
Pihak DP3AKB juga bekerja sama dengan Garwita menyiagakan psikolog yang stand by di kantornya untuk memberikan asesmen dan rekomendasi untuk pengajuan dispensasi kawin bagi anak.
Selain itu, ada pula SE tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Aturan tersebut juga berlandaskan Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kabupaten Layak Anak, sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya perkawinan anak di Kabupaten Jember.
Bupati Jember Hendy Siswanto mengemukakan bahwa terbitnya beberapa SE tersebut menjadi salah satu strategi guna menekan pengajuan dispensasi nikah dan mencegah perkawinan anak yang memiliki dampak kompleks, salah satunya kasus stunting baru.
Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Jember tercatat jumlah pengajuan dispensasi nikah pada tahun 2022 sekitar 900-an perkara dan tahun 2023 meningkat menjadi sekitar 1.300 calon pengantin di bawah umur 19 tahun yang mengajukan dispensasi nikah.
Angka tersebut didominasi oleh anak-anak yang masih sekolah di jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Hal itu menjadi persoalan serius karena pernikahan dini juga menjadi akar kasus stunting di Jember.
Anak-anak yang masih berusia di bawah 19 tahun belum memiliki kematangan dan kedewasaan dalam mengasuh anak, sehingga persoalan asupan gizi sering diabaikan, sehingga anaknya dapat kekurangan gizi yang menjadi penyebab salah satu anak menjadi stunting.
Dalam SE Pencegahan Perkawinan Anak tersebut memuat enam poin penting. Pertama, mengajak pihak KUA, kepala desa/lurah, Ketua RT, Ketua RW, Tokoh Agama, organisasi masyarakat dan lainnya untuk tidak memberi dukungan perkawinan anak baik secara tertulis, lisan dan tindakan lainnya.
Kedua, membuat kebijakan dan komitmen anggaran yang mendorong organisasi perangkat daerah terkait untuk melaksanakan pencegahan perkawinan anak. Ketiga, menganjurkan, mendukung, mendorong, serta memfasilitasi anak-anak untuk program wajib belajar 12 tahun.
Keempat, memfasilitasi dan menyediakan sarana-prasarana pembentukan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), Pusat Informasi dan Konseling Remaja, dan desa layak anak.
Kelima, pemerintah daerah akan memfasilitasi dan mendorong pelaksanaan sekolah calon pengantin bagi remaja yang akan melaksanakan pernikahan guna mendapat keterampilan berumah tangga.
Keenam, mendorong masyarakat agar berperan aktif melaporkan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak kepada pengurus RT dan RW yang dapat diteruskan secara terstruktur yang lebih tinggi.
Tidak hanya itu, Pemkab Jember juga mengambil langkah tegas untuk menekan angka pernikahan dini, salah satunya dengan melakukan penandatangan pakta integritas bagi orang tua murid SMP, agar tidak menikahkan anaknya ketika masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Sementara Direktur Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM) Jember Rizki Nurhaini menambahkan, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah daerah agar beberapa SE yang diterbitkan tersebut benar-benar efektif dalam menekan penyebab terjadinya kasus stunting di Jember.
Pemerintah daerah melalui pihak-pihak terkait untuk memperkuat pengajuan dispensasi kawin , terutama layanan konseling dan memperbanyak layanan konseling untuk mencegah perkawinan anak.
Kemudian, untuk mencegah terjadinya perkawinan anak yang dilakukan secara sirri, maka perlu ada sanksi bagi orang tua atau tokoh agama yang menikahkan anak di bawah usia 19 tahun.
Tidak hanya itu, tokoh agama dan para ulama harus berani mengambil sikap juga menentang perkawinan anak karena ada juga penafsiran agama yang masih membenarkan dilakukan perkawinan anak.
Selain itu, memperketat peluang korupsi dalam proses pengajuan dispensasi kawin bagi pihak-pihak yang memberikan rekomendasi terhadap calon pengantin sesuai dengan SE yang diterbitkan Bupati Jember.
ASN wajib punya anak asuh
Dalam upaya mewujudkan program Zero Growth Stunting, Bupati Jember menerbitkan pula SE tentang Anak Asuh Balita Stunting yang menggerakkan seluruh aparatur sipil negara (ASN) wajib memiliki anak asuh yang mengalami kurang gizi.
Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting yang juga Wakil Bupati Jember M. Balya Firjaun Barlaman mengatakan bahwa setiap dokter, perawat, dan bidan juga wajib memiliki anak asuh balita wasting (anak yang berat badannya menurun seiring waktu hingga total berat badannya jauh di bawah standar kurva pertumbuhan) dan underweight minimal satu anak.
ASN yang menjadi orang tua asuh itu harus memberikan paket bantuan makanan bergizi kepada anak balita asuh yang memiliki kurang gizi berupa makanan siap santap terdiri atas lauk tinggi protein yang sudah diolah seperti telur, ayam, daging, dan ikan, serta susu selama sebulan.
Selain itu, juga diberikan paket multivitamin dan mineral ditambah bahan makanan berupa telur ayam 30 butir, telur puyuh 1 kg, abon ikan 500 gram, kacang hijau, dan gula 1 kg atau susu formula balita sebanyak 3 kotak ukuran 300 gram.
Para bapak/ibu asuh juga melakukan kunjungan rumah dan wajib melakukan edukasi minimal 2 minggu sekali dengan tujuan melihat evaluasi dan perkembangan, serta berkoordinasi dengan puskesmas terdekat.
SE tentang ASN wajib memiliki anak asuh itu juga mendukung program sebelumnya yakni Gerakan Masyarakat Jember Peduli Ibu dan Balita (Gemar Jelita) yang di dalamnya terdapat aksi-aksi pencegahan dan penanganan stunting yang terus digencarkan dengan berbagai varian kegiatan.
Selain itu, M. Balya Firjaun Barlaman yang akrab disapa Gus Firjaun itu mengatakan bahwa Pemkab Jember juga menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak seperti perguruan tinggi negeri/swasta untuk terlibat dalam penanganan stunting, sehingga hal itu wujud komitmen bersama terkait dengan penekanan angka stunting di Kabupaten Jember.
Dengan berkolaborasi bersama seluruh pihak maka langkah pemerintah dalam penurunan angka stunting diharapkan bisa maksimal, sehingga harapkan Jember mencapai zero stunting dapat terwujud.
Ia mengapresiasi terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam penurunan angka stunting di Jember karena mengalami penurunan angka stunting sebanyak 5,7 persen, sehingga berkontribusi dalam penurunan stunting di Jawa Timur serta juga nasional.
"Hal itu menunjukkan bukti keseriusan dan komitmen Pemkab Jember dalam upaya melakukan pencegahan dan penurunan angka stunting. Tim Pendamping Keluarga (TPK) menjadi ujung tombak karena bersentuhan langsung dengan sasaran.
Pemkab Jember akan selalu memperhatikan secara serius penanganan kasus stunting, karena hal itu sangat penting untuk menyiapkan Generasi Emas pada tahun 2045 mendatang.