Surabaya (ANTARA) - Paradigma bahwa tugas guru bukan sekadar "tukang" transfer pengetahuan sudah lama didengungkan.
Kesadaran bahwa tugas pendidik itu bukan sekadar mencekokkan ilmu kepada anak didiknya, kini semakin menemukan makna substantifnya, setelah masa memasuki dunia digital dan mesin pencari mampu "menggantikan" sebgian peran guru.
Kalau guru hanya bekerja menularkan ilmu pengetahuan kepada siswanya, mereka akan tersisih oleh keberadaan "Mbah" Google yang ilmunya sangat tak terbatas.
Dari zaman dulu, letak kemuliaan dari tugas guru adalah kedekatan batin dan kepedulian mendalam mereka kepada para muridnya, sebagaimana yang digambarkan dalam filosofi Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara.
Ki Hadjar Dewantara menorehkan filosofi dasar pendidikan dalam tiga konsep, yakni "ing ngarsa sung tulada", "ing madya mangun karsa", dan "Tut wuri handayani". Ketiga konsep itu memiliki arti bahwa guru harus berada "di depan siswa memberikan teladan", "di tengah memberikan karsa atau gagasan", dan "di belakang memberikan dorongan".
Filosofi itu menekankan bahwa guru hadir ke dalam diri siswa secara utuh. Guru bukan hanya hadir dan berada di hadapan siswa untuk menyampaikan materi pelajaran, apalagi jika sekadar mengejar target capaian kurikulum. Ketika ia berada di hadapan siswa harus memberikan teladan, baik dalam perilaku maupun dalam menguasai ilmu pengetahuan.
Bukan hanya berada di depan, guru harus mampu masuk ke dalam atau ke tengah, lebih tepatnya ke jiwa anak-anak, muridnya, untuk membangun prakarsa atau menumbuhkan ide-ide dan kreativitas. Bukan juga hanya berada di depan dan masuk ke tengah, guru harus mau berada di belakang siswa untuk memberikan dorongan agar siswa mampu mewujudkan prakarsa-prakarsanya.
Oleh karena itu, guru tidak cukup hanya datang ke sekolah dengan spirit rutinitas untuk mengajar di kelas dan memberi tugas pada murid untuk dikerjakan di rumah. Guru ideal dituntut untuk menyelami siswa, bahkan per individu.
Baca juga: Pemkab Banyuwangi alokasikan Rp9,8 miliar insentif 14.119 guru ngaji
Guru dituntut untuk memiliki kepedulian tinggi terhadap apa yang dihadapi para siswanya. Meskipun tidak mudah, kepedulian seperti itulah sejatinya yang mampu mengantarkan seorang guru pada posisi kemuliaan sehingga layak disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa".
Guru ideal adalah sosok yang memiliki komitmen tinggi pada pekerjaannya, mohon maaf, bukan sekadar pada bayaran yang diterimanya.
Kalau akhir-akhir ini ada beberapa kasus kaum remaja tidak kuat menghadapi masalah atau tekanan hidup, sehingga lebih memilih jalan pintas, para guru harus tergugah untuk selalu hadir di depan, di tengah, dan di belakang siswa.
Hal ini memang memerlukan kepekaan dan komitmen seorang guru mengenai tugas mulia itu. Sudah bukan zaman lagi guru menganggap bahwa menangani masalah kejiwaan anak adalah semata tugas guru bimbingan konseling (BK).
Paling tidak, guru-guru non-BK berlatih mengidentifikasi untuk mengenali anak-anak didik yang memiliki masalah. Jika si guru merasa tidak mampu menangani masalah murid itu, baru berkomunikasi dengan guru BK.
Oleh karena itu, guru bukan hanya tahu tentang anak mengenai prestasi mata pelajaran di sekolah. Guru juga perlu tahu bagaimana kondisi anak di rumah, termasuk kondisi orang tuanya. Dengan pemahaman yang utuh terhadap anak dan latar belakang di keluarga, guru tidak akan mudah menghakimi anak dengan stempel negatif.
Kedekatan hati guru dengan anak didiknya sangat bernilai bagi anak didik yang mungkin selama ini kurang mendapat perhatian dari orang tua sehingga guru akan mudah masuk ke bagian terdalam atau jiwa si anak untuk mengajak menggali prakarsa mengenai rencana hidupnya di masa depan.
Sikap tak acuh guru terhadap anak-anak didiknya tidak seharusnya terjadi jika seorang guru menghayati betul tugasnya sebagai pendidik. Untuk menjadi guru yang baik memang memerlukan syarat gerak hati yang murni, yang hal ini tidak akan tumbuh jika seseorang menjadi guru terpaksa, misalnya, karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa ditekuni.
Kalau guru mau menyelami mendalam apa dan bagaimana anak didiknya, sesungguhnya akan begitu banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang guru untuk membantu mereka mengarungi masa depan yang lebih baik.
Betapa banyak anak didik yang hidup dalam keterbatasan ekonomi orang tua mereka sehingga si anak terpaksa menyerah pada keadaan karena tidak memiliki banyak informasi mengenai peluang untuk memperbaiki ekonomi mereka, misalnya, dengan melanjutkan kuliah.
Anak-anak dengan latar belakang orang tua miskin tidak memiliki keberanian untuk kuliah, padahal saat ini banyak peluang beasiswa dari berbagai pihak. Salah satu sumber beasiswa yang memang diikhtiarkan oleh negara untuk menyasar anak-anak dari keluarga miskin adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah.
Kalau saja satu guru memiliki "proyek" mengarahkan satu anak didik dari keluarga miskin untuk menjadi anak asuh, akan banyak pula remaja berpotensi yang punya peluang menikmati bangku kuliah.
"Proyek" satu guru satu anak asuh ini tidak harus dilakukan oleh guru tingkat SMA atau SMK, tetapi juga mulai SD dan SMP. Jika guru SD atau SMP memiliki siswa binaan untuk kelak bisa kuliah, si guru bisa berkomunikasi dengan guru di tingkatkan sekolah di atasnya agar si siswa mendapatkan perhatian berkelanjutan.
Jika, misalnya, si anak asuh itu gagal masuk perguruan tinggi dengan beasiswa, saat ini juga banyak peluang pelatihan yang bisa menjadi pilihan alternatif, termasuk memanfaatkan peluang Kartu Prakerja, yang juga menjadi program Pemerintah untuk generasi muda.
Di era digital saat ini, sebetulnya para remaja itu tidak kekurangan informasi mengenai peluang beasiswa untuk kuliah, termasuk ikut program pelatihan Prakerja, namun mereka terantuk pada kondisi tidak berani melangkah tanpa ada seseorang yang memberi motivasi secara langsung. Peluang mulia itu ada pada sosok guru.
Mohon beribu maaf dan terima kasih untuk para guru. Zaman dan kondisi yang terus berubah tidak akan mampu meluruhkan kemuliaan guru. Selamat Hari Guru.
Guru bukan sekadar "tukang" transfer pengetahuan
Jumat, 24 November 2023 14:03 WIB