Situbondo (ANTARA) - Kota Kecamatan Besuki di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, biasanya sudah sepi ketika malam menjelang pukul 20.00 WIB, kecuali bunyi kendaraan yang lalu-lalang ke arah timur atau sebaliknya.
Pada Sabtu (18/11) malam, kota tua yang menjadi perlintasan utama jalur Jawa-Bali itu tampak ramai, bahkan boleh dikata ada ingar bingar, baik suara maupun visual, khususnya di halaman bekas Kantor Keresidenan Besuki.
Meriahnya visual tampil dari teknologi "visual art video mapping" yang konon baru pertama kali ditampilkan untuk area Kabupaten Situbondo.
Bekas kantor residen yang dulunya berupa bangunan tua menyeramkan, kini sudah terlihat bersih dan jauh dari kesan angker. Apalagi, ketika lampu warna warni menampilkan beragam bentuk visual, menambah kesan meriah. Besuki malam itu menyuguhkan alunan musik kontemporer dari anak-anak muda Situbondo.
Grup musik Nusantara Rythem yang berasal dari Kecamatan Jangkar, Situbondo, menghibur warga dengan musik kental nuansa Madura, sebagaimana budaya dan bahasa yang masih dipegang oleh masyarakat di kawasan dekat pesisir itu.
Kegiatan bertajuk "Macah Besokeh" atau "Membaca Besuki" merupakan rangkaian dari program Galang Gerak Budaya Tapal Kuda (GGBTK) yang digagas oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek.
Sebagai ajang untuk menggali spirit atau nilai-nilai budaya lama di kota penuh sejarah itu, kegiatan Macah Besokeh juga menampilkan tradisi kuno yang generasi pelakunya masih ada hingga kini.
Tradisi mocopat atau macapat ditampilkan menjadi pembuka kegiatan tersebut. Di budaya masyarakat Madura, tradisi itu juga disebut sebagai "mamacah".
Baca juga: "Komunitas Besuki Membaca" ajak kaum muda kenali sejarah Besuki
Dua pelaku tradisi mamacah tampil membawakan cerita "Pandebeh 5" atau "Pendawa 5" pada malam itu, yakni H. Muyati (130 tahun) dan Askar (83 tahun).
Malam itu, Muyati tampil dengan suara meliuk-liuk, namun usia sepuh menyebabkan ia tidak lagi bisa membawakan tembang dengan lancar dan durasi panjang.
Meskipun hingga kini belum ada generasi muda yang berminat untuk mendalami seni macapat, setidaknya generasi muda Besuki sudah mengenal dan tahu bahwa ada tradisi membaca tembang kuno di wilayahnya.
Sejumlah generasi muda yang memiliki kesadaran budaya, setidaknya sudah menampilkan kegelisahan dan harapan bahwa budaya luhur itu tidak boleh punah.
Redy Eko Prasetyo, musisi asal Besuki yang juga mahasiswa doktoral di Universitas Brawijaya (UB) Malang, serta menjadi salah satu penggerak dari kegiatan "Macah Besokeh" menyatakan bahwa ia dan pegiat muda lainnya terus mencari cara bagaimana macapat bisa digandrungi oleh kaum muda.
Sebagaimana proses pembelajaran yang memakan waktu lama dari generasi tua saat memelihara warisan budaya itu, maka upaya generasi muda Besuki untuk melestarikan budaya macapat harus kembali pada kodrat yang tidak mungkin instan.
Hal yang mereka lakukan adalah memerhatikan warisan-warisan kasat mata terlebih dahulu, seperti merenovasi gedung bekas kantor keresidenan yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan budaya oleh masyarakat.
Sementara itu, Halil Budiarto, guru sejarah SMA Negeri Suboh, Situbondo, bercerita bagaimana perjuangan merenovasi gedung itu, dengan tetap berusaha memertahankan keasliannya.
Awalnya, ide melestarikan gedung itu dianggap aneh karena merupakan bangunan peninggalan Belanda. "Apa yang mau dibanggakan dari gedung warisan penjajah itu?" begitu tanggapan yang diterima Halil dan kawan-kawan.
Ia kemudian berjuang meyakinkan banyak pihak bahwa tujuannya bukan membanggakan peninggalan penjajah, melainkan mempertahankan nilai sejarah perjalanan kota yang mereka cintai tersebut.
Dengan merawat warisan itu, maka generasi muda nantinya tidak hanya tahu sejarah dari sekadar cerita atau hanya "katanya" bahwa di Besuki dulu ada bekas kantor residen milik Belanda.
Dengan merawat warisan yang masih ada, generasi muda memiliki bukti kuat bahwa kota yang mereka tinggali betul-betul memiliki sejarah panjang, bahkan bukan sekadar di masa kolonial, tapi jauh sebelumnya.
Setelah diyakinkan, barulah banyak masyarakat mendukung yang kemudian ide itu disampaikan ke pemerintah daerah. Kala itu, sekitar Tahun 2017, para inisiator menyampaikan ide itu kepada Bupati Situbondo Dadang Wigiarto (kini sudah almarhum).
Pemerintah kabupaten ternyata menyetujui hingga dianggarkan sekitar Rp5 miliar. Renovasi selesai pada 2019 dan kini gedung bekas keresidenan yang bersebelahan dengan kantor Polsek Besuki tersebut sudah bagus dan bersih.
Sebagaimana diucapkan oleh ahli sejarah Jawa Timur Dr Dwi Cahyono, masyarakat Besuki memang harus melestarikan warisan budaya yang ada, namun jangan hanya berhenti di melestarikan.
Lebih dari itu, masyarakat harus memanfaatkan apa yang sudah dilestarikan itu untuk berbagai kegiatan, khususnya terkait dengan budaya, sehingga gedung tersebut tidak kembali telantar dan menyeramkan.
Kegiatan Macah Besokeh merupakan salah satu wujud dari upaya melestarikan sekaligus memanfaatkan warisan masa lalu untuk bekal generasi masa kini dalam menatap masa depan.
Banyak hal yang bisa digali oleh masyarakat Besuki, terkait dengan mengenal sejarah masa lalu itu, khususnya generasi muda. Misalnya, bagaimana leluhur masyarakat Besuki itu menjadi bagian dari perjuangan mengusir penjajah, termasuk di masa lampau sebelumnya, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kemajuan sebagai penduduk kota besar di masa lalu.
Kota Besuki yang pernah menjadi ibu kota pemerintahan setingkat keresidenan tentu menyimpan spirit sebagai masyarakat yang sudah maju di masa lalu, dan generasi masa kini bisa menggali kembali untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, sekaligus merawat tradisi lama tetap hidup.
Macah Besokeh terlaksana atas kerja sama dengan Kompartemen Kebudayaan Ikatan Alumni (IKA) Universitas Brawijaya (UB) Malang yang juga didukung oleh program CSR Paiton Energi, mitra komunitas Holution Studio, Blender Army, Jaringan Kampung (japung) Nusantara.
"Galang Gerak Budaya Tapal Kuda" menggali kembali nilai luhur Besuki
Senin, 20 November 2023 7:15 WIB