Bangkalan - Budayawan Bangkalan, Achmad Sugianto mengatakan, senjata khas Madura, celurit kini bukan lagi digunakan untuk berkelahi membunuh musuh alias "carok", tapi harus digunakan untuk membabat hutan, guna membangun Madura. "Sudah saatnya masyarakat meninggalkan tradisi kurang baik ini, dan harus mengarahkan kepada hal-hal yang positif dan lebih baik dari sebelumnya," kata Achmad Sugianto di Bangkalan, Senin. Sugianto yang juga Wakil Ketua Sanggar Seni Tralala, Bangkalan ini lebih lanjut menjelaskan, pandangan orang luar Madura selama ini terkesan "miring" dengan istilah carok dan celurit. Madura disimbolkan dengan orang yang antikemajuan dan hanya sering bertengkar dengan menggunakan senjata khas mereka, yakni celurit. "Makanya ke depan saya kita perlu ada perubahan yang sangat mendasar. Celurit tidak boleh hanya identik dengan carok saja, akan tetapi yang terpenting bagaimana celurit ini dijadikan alat untuk membangun Madura," kata pria yang akrab disapa Sugik ini. Upaya untuk mengubah pola dan cara pandang masyarakat bahwa celurit digunakan hanya untuk carok ini diekspresikan oleh Achmad Sugianto bersama para budayawan dan seniman yang tergabung dalam sanggar seni Tralala, Bangkalan ini melalui sebuah pementasan tarian yang ia berinama tari "Pecut Suramadu". Tarian yang dimainkan sebanyak 45 orang penari putra dan putri ini mengandung pesan moral akan pentingnya masyarakat Madura mengubah pola pikir dan pola sikap setelah jembatan Suramadu dioperasikan. Karapan sapi dalam tari ini, tetap menjadi ikon budaya masyarakat Madura yang perlu tetap dilestarikan dan penyelesaian persoalan sosial hendaknya diselesaikan dengan menggunakan akal, yakni musyawarah mencapai mufakat. "Kita menginginkan penyelesaikan dengan akal, bukan dengan 'okol' atau perkelahian," ucapnya, menjelaskan. Tari "Pecut Suramadu" hasil kreasi para seniman yang tergabung dalam sanggar seni Tralala Bangkalan ini, mampu menggambarkan secara utuh tentang kondisi sosial Madura, selama. Menurut Achmad Sugianto, tari ini terinspirasi atas kondisi sosial yang terjadi pada masyarakat Madura, khusus dalam menyelesaikan persoalan dengan carok. "Pesan moral yang kami sampaikan dalam tari yang pernah kami pentaskan di acara 'Semalam di Madura' yang digelar Pemkab Pamekasan itu bahwa semua pihak yang terlibat dalam carok sama-sama orang merugi," paparnya. Menurut Sugik yang juga pengawas di Dinas Pendidikan Bangkalan itu, orang yang kalah carok akan mati, sedangkan yang menang akan di penjara, dan akan menyisakan dendam pada anak keturunannya.
Budayawan: Celurit Madura Bukan Untuk Carok
Senin, 24 Oktober 2011 19:53 WIB