Surabaya (ANTARA) - Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan peristiwa yang menimpa 76 siswi salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Magetan. Bagaimana tidak mengejutkan, puluhan siswi tersebut kompak melakukan self harm dengan cara menyayat pergelangan tangan.
Peristiwa yang membuat siapapun, terutama para orang tua mengelus dada tersebut, konon disebutkan karena mengikuti tren Tiktok barcode Korea.
Disebut self harm, fenomena melukai diri sendiri tersebut, adalah PR (pekerjaan rumah) besar bagi kita semua yang harus berperan aktif menjaga karakter mental anak bangsa, terutama dari tren atau habit yang tidak positif, hanya demi konten sosial media.
Perkembangan moral anak bangsa, tak lepas dari tanggung jawab kita semua, para orang tua yang seharusnya mampu menjaga kelangsungan karakter positif mereka. Apalagi, jika moral anak-anak dan remaja mudah terbawa tren atau demi konten sosial media, yang kemudian terjadi sebuah perilaku yang tidak memiliki manfaat, melainkan justru masalah. Untuk itu, pentingnya membangun pikiran positif yang tidak terjebak Toxic Positivity.
Lantas, apakah Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah sebuah obsesi untuk selalu memiliki pikiran positif dan menolak emosi negatif, seperti sedih, kecewa, dan takut, walaupun dalam keadaan buruk. Padahal ini justru tidak benar. Karena manusiawi jika manusia ingin menangis saat ia merasa rapuh, kecewa saat menghadapi sesuatu hal yang tidak sesuai keinginannya, atau ketakutan menghadapi kesalahan. Untuk itu, ditekankan pentingnya seseorang menyadari kekurangannya sebagai manusia.
Dalam hidup kan wajar manusia memenuhi ketidaksempurnaan, karena memang manusia terlahir sebagai manusia, bukan malaikat. Jadi harus mampu berdamai dan menerima kekurangan diri. Jangan memaksa kuat jika sedang lemah, tapi coba lalui setiap masalah dengan cara menyelesaikan satu per satu. Jangan kemudian mencari solusi dengan mencari kelegaan diri melalui panjat sosial atau mengikuti tren sosial media semata.
Tentunya anak-anak dan remaja harus diyakinkan pada prinsip hidup harus dihadapi bukan dibebani.
Inilah yang harus kita tekankan kepada anak-anak kita, adik-adik kita. Bahwa lumrah manusia melakukan kesalahan, tapi yang tidak lumrah dan sangat tidak boleh adalah melakukan kesalahan dengan menyakiti orang lain, baik verbal maupun fisik. Karena manusia memiliki moral dan logika untuk bahagia dan saling membutuhkan, ini yang harus dipertahankan.
Karakter tangguh.
Kita semua kan pernah anak-anak, pernah remaja, jadi harus memahami bahwa pertumbuhan psikis, tergantung orang di sekitar. Inilah tugas kita semua, yaitu mendampingi anak-anak dan remaja saat ada masalah, dengan memberikan motivasi bahwa setiap masalah bisa diselesaikan. Jangan menghakimi ataupun merasa kita lebih tangguh ketimbang mereka, melainkan yakinkan mereka, bahwa kita semua pernah melakukan kesalahan.
Tangguh juga disebut resiliensi, yaitu kemampuan bangkit dari keterpurukan atau menghadapi masalah. Bahwa anak-anak dan remaja bisa meraih ini, dengan pendekatan agama dan moral, serta pendekatan afeksi atau kasih sayang. Kedua ini berkaitan. Karena agama dan moral adalah pijakan manusia untuk membentuk karakter. Sedangkan afeksi orang sekitar, adalah supported system yang bisa dirasakan langsung.
Dukungan orang sekitar dapat dirasakan langsung ketika seorang anak mendapati masalah, yaitu kalimat motivasi ataupun sebuah pemberian yang bisa dilihat secara fisik, untuk menghibur si anak. Sedangkan pendekatan agama dibutuhkan sebagai proses brainstorming bahwa manusia harus memiliki jiwa sabar, tenang, dan damai yang didapat melalui kegiatan ibadah atau ubudiyah.
Mengutip teori resiliensi Grotberg, bahwa ada tiga hal yang membentuk resiliensi (situasi bangkit menyelesaikan masala), yaitu aspek "I have", "I can", dan "I am".
"I am" adalah sumber resiliensi yang berisi tentang sikap, kepercayaan diri, seperti sikap optimis, sikap menghargai, dan empati. "I can" adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh seseorang seperti kemampuan interpersonal, yaitu cara berkomunikasi sebagai proses memecahkan masalah, dan "I have" adalah sesuatu yang dimiliki seseorang yaitu berupa dukungan dari keluarga atau orang sekitar. Jadi intinya perkuat resiliensi, bukan toxic positivity.
*) Penulis adalah bakal Calon Anggota DPD RI sekaligus penulis novel motivasi berjudul "Berkisah Tentang Hati"
Fenomena Self Harm, perkuat resiliensi bukan toxic positivity
Oleh Lia Istifhama*) Kamis, 26 Oktober 2023 7:10 WIB