Surabaya (ANTARA) - Kota-kota besar di dunia seperti Paris, London, Amsterdam serta juga kota-kota besar di Indonesia di antaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan lainnya, memiliki perjalanan sejarah panjang di abad 17-18.
Dari perjalanan sejarah panjang tersebut, maka banyak ditemukan warisan bersejarah (heritage) di kota-kota tersebut. Salah satu heritage tersebut adalah bangunan-bangunan lama yang bernilai dan memiliki identitas tersendiri.
Upaya melestarikan dan mengelola bangunan bersejarah penting dilakukan karena menyangkut identitas dan menjadi karakter suatu kota yang dapat menguntungkan suatu kota sampai generasi yang akan datang.
Hal itu selaras dengan deklarasi Unesco yang diumumkan 12 November 1997 yang menyebut generasi sekarang memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi, melindungi, serta menjaga warisan budaya yang berwujud maupun tidak berwujud, guna mewariskan warisan bersama ini kepada generasi mendatang.
Di lain hal, wisata heritage kini juga banyak diminati oleh para turis lokal dan mancanegara. Beberapa kota di Indonesia sudah memililkinya, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan beberapa kota lainnya.
United Nations World Tourism Organization (UNWTO) pada tahun 2005 mencatat bahwa kunjungan ke obyek wisata warisan budaya dan sejarah adalah kegiatan wisata tercepat pertumbuhannya.
Sektor wisata menjadi salah satu pendorong utama dalam meningkatkan perekonomian dunia, karena bisa menambah devisa yang cukup besar bagi negara, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dan membuka lapangan kerja.
Bangunan-bangunan bersejarah yang ada di berbagai kota di Indonesia, merupakan aset penting yang perlu dilestarikan keberadaannya dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata heritage.
Wisata heritage merupakan sebuah perjalanan wisata yang dikemas dengan mengunjungi tempat bersejarah yang penting bagi sebuah daerah atau kota.
Baca juga: KSAD pastikan Asrama Inggrisan Banyuwangi jadi wisata heritage
Heritage Kota Surabaya
Kota Surabaya di Jawa Timur yang menapaki usianya ke-730 pada 31 Mei 2023, memiliki potensi besar wisata heritage. Sebagai Kota Pahlawan yang menyimpan banyak sejarah kemerdekaan Indonesia, Surabaya memiliki banyak peninggalan bersejarah yang hingga kini masih terpelihara.
Banyak bangunan bergaya Eropa, Arab, dan Tiongkok dapat ditemui di sudut-sudut Kota Surabaya. Sebagian bangunan banyak dimanfaatkan untuk usaha seperti kafe ataupun kedai. Bahkan juga ada bangunan tua yang disulap menjadi tempat bertemunya anak-anak muda.
Jika peninggalan sejarah tersebut bisa dikelola menjadi destinasi wisata sejarah, tentunya akan mendatangkan keuntungan baik untuk meningkatkan pendapatan daerah maupun peningkatan perekonomian masyarakat setempat.
Pariwisata juga menjadi salah satu tumpuan dalam upaya peningkatan aktivitas ekonomi bagi suatu daerah termasuk warga yang ada di dalamnya. Oleh karenanya, banyak daerah mengupayakan promosi bagi berbagai obyek wisata yang menjadi andalan mereka.
Potensi terkuat dari Surabaya adalah keberadaannya sebagai Kota Pahlawan. Hal ini yang membedakan dengan daerah lain di Indonesia. Sudah selayaknya bangunan-bangunan di Surabaya dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah dengan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, sosial, kebudayaan, ekonomi maupun pariwisata.
Surabaya termasuk kota yang kaya akan bangunan-bangunan lama. Tidak sekedar lama, tapi juga menyimpan nilai sejarah yang tinggi. Hal ini yang membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya semakin bergairah untuk menguatkan sektor wisata heritage.
Bahkan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Surabaya saat ini tengah menggarap beberapa destinasi dengan konsep "living heritage" atau yang erat kaitannya dengan pelestarian suatu bangunan yang mempunyai historis di masyarakat dengan mempertahankan suasana zaman dahulu yang dikemas secara modern.
Konsep living heritage berfungsi untuk mencegah pengerusakan atau kepunahan, mencakup semua tindakan yang memperpanjang umur warisan budaya, seperti halnya kebudayaan gotong royong, komunikasi dengan tetangga, tradisi dan adat istiadat, hingga mata pencaharian.
Tidak hanya menghidupkan kembali kehidupan sosial masyarakat, fungsi-fungsi bangunan bersejarah harus dikembalikan seperti semula. Harapannya, wisatawan yang datang nanti dapat merasakan kekentalan budaya dari berbagai jenis masyarakat di Surabaya pada zaman dahulu.
Langkah selanjutnya, menurut Kepala Disbudporapar Surabaya Wiwiek Widayati adalah mengawinkan unsur kebudayaan dan pariwisata. Untuk kebudayaan dapat dilakukan dengan pelestarian, sedangkan pariwisata merupakan potensi yang mampu secara ekonomis memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Unsur historis yang dimiliki Surabaya menjadi daya tarik tersendiri. Oleh karenanya, Disbudporapar berupaya mendorong hal itu menjadi spirit industri pariwisata di Kota Pahlawan, salah satunya mengembangkan wisata kota lama.
Penggambaran kota lama di Surabaya ini sebagaimana dipaparkan seorang petualang Belanda, Artus Gijsels, dalam buku Expeditie Soerabaia naar Passoeroean bij 1706 (Ekspedisi Surabaya ke Pasuruan pada tahun 1706).
Artus Gijsels menggambarkan Surabaya sebagai sebuah kota yang diatur dengan baik sekali pada masa itu. Pertahanannya juga kuat, karena ada dua tembok pengaman kerajaan yaitu di tepi kerajaan dan yang mengitari keraton. Kotanya indah dan tertib, kehidupan penduduknya dinamis. Meski Surabaya sedang berperang dengan Mataram, rakyat hidup normal.
Karena tata kotanya yang teratur, orang Belanda zaman kolonial, mengibaratkan Surabaya seperti kembaran Kota Amsterdam dari timur. Keteraturan tata Kota Surabaya itu bukan karena campur tangan Belanda dalam menata kota, namun keteraturan itu juga dibangun sejak wilayah ini masih dalam kekuasaan Kerajaan Demak setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Dalam sejarahnya, Surabaya pernah ditaklukkan oleh Mataram pada tahun 1625. Sisa kerajaan masih ada, salah satunya adalah Kampung Keraton yang kini diapit Jalan Kramatgantung dan Jalan Pahlawan. Perumahan para pejabat dan punggawa keraton berada di sisi barat Jalan Bubutan yaitu Kampung Tumenggungan dan Maspati yang letaknya hanya 500 meter dari Tugu Pahlawan.
Tematik
Surabaya termasuk kota yang kaya akan bangunan bangunan lama. Tidak sekadar lama, tapi menyimpan nilai. Tentu sayang jika bangunan lama yang bernilai itu kurang dan bahkan tidak dimanfaatkan.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, beberapa waktu lalu berdiskusi dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Surabaya untuk mencari terobosan dalam pemanfaatan aset sejarah berharga itu. Muncul gagasan upaya pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya dengan cara tematik.
Sekretaris TACB Kota Surabaya, Prof. Purnawan Basundoro, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan cara tematik yakni pola pengembangan yang tidak lepas dari akar sosial dan kultural historis dari suatu kawasan. Misalnya pengembangan kawasan Pecinan dengan menonjolkan unsur budaya Tionghoanya.
Dari pengembangan yang berbasis pada sejarah budaya dan sosial setempat yang menjadi kekhasan kawasan itu akan memberi daya tarik publik, dan selanjutnya dapat menumbuhkan geliat potensi ekonomi kreatif.
Pola pengelolaan yang bersifat tematik ini sudah mulai diterapkan di Kampung Pecinan di Jalan Kembang Jepun. Tidak hanya jajanan, makanan dan minuman (kuliner), di sana juga tersaji hiburan, pembenahan lingkungan mulai dari perbaikan jalan, penerangan jalan umum (PJU), lampion, bangunan hingga penyediaan becak wisata.
Banyak tema yang bisa diangkat di Surabaya berdasarkan kekhasan di suatu kawasan. Tidak jauh dari Kampung Pecinan terdapat Kampung Eropa (Belanda), Kampung Arab, Kampung Kebangsaan Peneleh dan lainnya.
Semua kawasan ini memiliki bangunan lama dan lingkungan yang mendukung sesuai tema masing-masing. Selama ini memang tidak semua bangunan lama sudah berstatus cagar budaya. Menurut Ketua TACB Kota Surabaya, Dr. Retno Hastijanti, di Surabaya tercatat ada sekitar 250 Bangunan Cagar Budaya.
Umumnya bangunan cagar budaya tersebut dalam kondisi yang relatif baik dan dimanfaatkan, mulai dari perkantoran, tempat usaha hingga fasilitas publik. Ada juga bangunan-bangunan yang tidak terawat dan itu adalah milik swasta.
Untuk itu, perlu ada diidentifikasi dengan jelas berdasarkan tema. Misalnya tema Cagar Budaya terkait peristiwa 10 November dan tema Cagar Budaya terkait arsitekturnya. Dengan begitu, maka dalam melaksanakan pelestariannya bisa dibedakan.
Apalagi saat ini Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tidak hanya sebatas penyelamatan bangunan cagar budaya, melainkan juga pada sisi pengelolaan. Selain itu, tidak ada lagi kategori bangunan cagar budaya kelas A, B dan C. Namun, disesuaikan dengan tingkatan, yakni Lokal di skala Kota/Kabupaten, Regional skala Provinsi dan Nasional.
Selama ini, untuk bangunan cagar budaya milik swasta/perorangan, Pemkot Surabaya sudah memberikan intensif Pajak Bumi Bangunan (PBB) sebesar 50 persen. Harapannya 50 persen untuk pemeliharaan bangunan cagar budaya.
Dengan upaya-upaya serius serta didukung berbagai pihak terkait, termasuk masyarakatnya, maka tekad Kota Surabaya untuk mengembangkan wisata heritage tematik diyakini akan membuahkan yang hasil manis. Apalagi Kota Surabaya memang memiliki warisan sejarah berlimpah.
Mengembangkan kawasan wisata heritage tematik di Surabaya (1)
Oleh Abdul Hakim Jumat, 13 Oktober 2023 8:58 WIB