Situbondo (ANTARA) - Minggu (8/10) pagi, sekitar 15 menit seusai jemaat mengikuti prosesi ibadah Minggu, sejumlah perempuan berjilbab dan laki-laki berkopiah memasuki Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Pemandangan tidak biasa itu tampak pada syukuran selesainya renovasi gereja dan HUT Ke-97 GKJW Wonorejo. Panitia mengundang semua tokoh agama di desa itu, termasuk warga Muslim dan Hindu.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh" berulang-ulang terdengar di dalam gereja yang terletak di Dusun Kendal tersebut.
Pembawa acara, Sri Wilujeng, yang seorang Muslimah berjilbab mengawali pembacaan jadwal acara dengan salam khas Muslim itu, kemudian diikuti salam agama lain.
Bahkan, Ketua Majelis Agung GKJW Pdt. Natael Hermawan Prianto saat memberikan sambutan juga mengawali salam dengan "Assalamualaikum ...".
Bergabungnya tokoh serta umat dari Islam dan Hindu pada peresmian gereja tersebut meneguhkan bahwa kerukunan beda iman masih terus dipelihara dengan indah oleh warga di desa yang berbatasan dengan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, tersebut.
Tampakan lain yang menegaskan bahwa ada keterlibatan warga Islam dalam acara itu adalah tudung atau sarung kursi di ruang jamuan makan untuk para undangan. Sarung kursi itu bertuliskan "Jamaah Tahlil".
Bukan hanya sarung kursi, "terop" atau tenda untuk undangan di halaman gereja juga dipinjam dari kelompok pengajian umat Islam. Pekerja yang mendirikan tenda itu adalah jamaah pengajian.
"Begitulah kebersamaan kami di Wonorejo sini. Kami terbiasa saling membantu. Jadi kalau acara di gereja, MC-nya ibu berjilbab, itu bukan hal aneh," kata Pendeta GKJW Wonorejo Romo Ubin Maulana, saat berbincang dengan ANTARA.
Bukan karena mayoritas Islam sehingga acara di kalangan Kristen pun mendahulukan atribut sapaan keislaman. Pada acara lain, seperti musyawarah desa, Pendeta Ubin justru didaulat untuk memimpin doa secara Kristen, padahal yang hadir banyak dari kalangan tokoh Islam. Baru pada saat penutupan acara, pembacaan doa dipimpin oleh tokoh Muslim.
Dalam berbagai aktivitas, warga Wonorejo membuang jauh-jauh keinginan berkompetisi antaragama. Mereka justru memilih sikap kolaborasi.
Berkat keguyuban itulah, Desa Wonorejo yang letaknya berdampingan dengan pintu masuk Taman Nasional Baluran itu mendapat julukan sebagai Desa Kebangsaan dan Desa Pancasila yang diharapkan menjadi contoh bagi daerah lain bahwa relasi sosial dalam beda agama bisa diwujudkan secara tulus dan bukan sekadar basa basi.
Secara jumlah penganut, umat Kristen di Desa Wonorejo tergolong sedikit dibandingkan dengan umat Islam yang mayoritas.
Sesuai data yang diungkap oleh Kepala Desa Wonorejo Sumarto Adi, warga beragama Islam di desa itu sebanyak 6.200 orang, Kristen 1.328 orang, dan Hindu 4 orang. Sebelumnya di desa itu ada juga yang beragama Buddha, namun ketika banyak tetuanya yang meninggal, keturunan mereka menganut agama Kristen atau Islam.
Bahkan, kerukunan atau toleransi antarumat itu dibawa sampai mati. Mereka berdampingan dengan rukun dan damai, bukan hanya saat masih hidup. Ketika mati pun, jasad mereka dikubur dalam satu kompleks yang kemudian dikenal sebagai makam kebangsaan.
Di kompleks permakaman seluas 1,8 hektare itu, bukan sekadar berdempetan, misalnya, di satu sisi khusus makam Islam dan di sebelahnya makan Kristen. Kuburan di permakaman beda agama itu betul-betul berbaur sehingga terlihat seperti tidak beraturan karena makam Muslim membujur utara-selatan, sementara makam Nasrani umumnya membujur barat-timur.
Tokoh muda Nahdatul Ulama (NU) asal Situbondo H. Mohamad Guntur Romli menyebut bahwa makam itu menjadi monumen abadi toleransi di Desa Wonorejo. Jika di tempat lain, makam bisa menjadi sumber konflik, Wonorejo telah menyuguhkan pemandangan sejuk bahwa Bumi adalah milik bersama dan tempat jasad yang sudah terpisah dengan roh untuk kembali. Ibu Bumi tidak pernah mempermasalahkan si jasad itu beragama apa.
"Wonorejo ini memang istimewa. Ini juga menunjukkan bahwa toleransi adalah salah satu ciri kepribadian bangsa kita," kata tokoh yang selama ini dikenal giat memperjuangkan sikap toleran antarumat beragama ini kepada ANTARA.
Pendeta Ubin Maulana bercerita betapa nyamannya jemaat Kristen Jawi Wetan di desa itu, meskipun pada 1996 pernah ada kasus pembakaran gereja. Warga Wonorejo sangat paham bahwa pelaku pembakaran itu adalah orang luar.
Saking kuatnya rasa aman dari kemungkinan adanya protes masyarakat, saat merenovasi gereja, Ubin dan jemaatnya lupa mengurus izin mendirikan bangunan (IMB). Atas pertimbangan taat aturan, akhirnya izin tersebut selesai diurus.
Kehidupan sosial di Wonorejo tergolong unik, terutama komunikasi sehari-hari warga. Selain Bahasa Indonesia, mereka juga biasa berbicara dengan Bahasa Jawa dan Madura secara bergantian. Tidak aneh, ketika seseorang berbicara dengan warga lainnya dengan Bahasa Madura, tiba-tiba berubah dengan Bahasa Jawa.
Suasana permukiman penduduk terlihat berbeda dengan bayangan tentang desa yang sepi. Ketika masuk dari pintu gerbang desa dari jalan utama jalur Jawa-Bali, alamnya lebih mirip dengan kota, dengan rumah-rumah tembok berpagar berjejer rapi di pinggir jalan. Jalan masuk terlihat bersih, ditingkahi gemericik air bening dari sungai kecil di depan rumah warga di sepanjang jalan.
Jika ingin melihat suasana desa, pengunjung bisa masuk ke gang-gang atau bagian belakang dari tempat penginapan, dengan suguhan hamparan sawah milik penduduk di desa sekitar 60 KM dari pusat kota Situbondo itu.
Selain untuk tempat tinggal, jejeran rumah di pinggir jalan itu banyak dimanfaatkan pemiliknya sebagai hometsay untuk menginap para tamu. Pengunjung yang menginap umumnya adalah wisatawan yang akan menikmati wisata alam di Taman Nasional Baluran atau hendak berwisata ke Pulau Menjangan di wilayah Taman Nasional Bali Barat. Karena itu, pemilik penginapan juga menyediakan perahu untuk wisatawan yang hendak berkunjung ke pulau tersebut.
Baca juga: Unej dampingi Sidomulyo Jember jadi desa digital dan kampung Pancasila
Sejarah Wonorejo
Kebersamaan yang dijalani masyarakat Desa Wonorejo bukanlah bangunan sosial baru atau hasil rekayasa yang sengaja dirancang untuk kerukunan umat beragama.
Kebersamaan itu adalah warisan lama dari leluhur yang dimulai saat seorang tokoh Kristen asal Kencong, Kabupaten Jember, Jowas Yowel, membabat hutan di kawasan Wonorejo pada 1926.
Saat itu, Mbah Jowas, begitu warga desa biasa menyebut namanya, datang ke Wonorejo tidak hanya bersama jemaatnya sesama penganut Kristen. Kala itu, ia juga datang bersama dengan warga Muslim, yang kemudian beranak pinak di kawasan tersebut.
Tidak berlebihan jika warga mendaku bahwa kebersamaan dalam beda iman sudah menjadi semacam genetika atau bawaan asli bagi masyarakat asli desa tersebut.
Sebetulnya penduduk awal kawasan Wonorejo itu adalah pendatang dari Gili Genteng, Kabupaten Sumenep, Madura. Kala itu mereka mendiami kawasan pantai, dengan profesi sebagai nelayan. Kemudian, Mbah Jowas datang membabat hutan di wilayah yang kini menjadi Dusun Kendal.
Kades Sumarto Adi menceritakan, selain nelayan, warga asal Madura di kawasan pantai itu juga banyak yang berprofesi sebagai pandai besi, termasuk memproduksi alat-alat pertanian dan senjata tajam. Konon, saat rombongan Mbah Jowas membutuhkan peralatan tajam untuk membabat hutan, mereka berhubungan dengan pandai besi asal Madura yang kini menempati Dusun Pandean. Sebagai produsen, pandai besi butuh produknya laku terjual.
Karena dihadapkan pada kondisi saling membutuhkan itulah, maka hubungan antara warga Dusun Pandean dengan Dusun Kendal terjalin akrab. Apalagi, di antara rombongan Mbah Jowas juga ada yang beragama Islam.
Relasi saling membutuhkan pada masa lalu itu kemudian menjadi kebiasaan yang berlanjut hingga hari ini. Dalam bahasa Kades Sumarto Adi, semua manusia membutuhkan rasa aman dan damai dalam menjalani hidup. Karena kesamaan kebutuhan untuk hidup damai itulah, dalam sejarah Desa Wonorejo tidak pernah ada konflik dengan latar belakang beda agama.
Mengenai rasa dan damai, Pendeta Ubin, Kades Sumarto, Guntur Romli, dan tokoh lainnya sepakat bahwa hal itu adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Karena itulah mereka juga sepakat bahwa buah dari pohon kerukunan di Wonorejo ini perlu disemai di tempat lain di Bumi Nusantara sehingga nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika betul-betul menjadi tampilan nyata keseharian masyarakat di seluruh Tanah Air.
Sebagai warisan leluhur, masyarakat Wonorejo tidak boleh tinggal diam hanya menikmati kedamaian itu. Mereka sadar bahwa 'tumbuhan" kebhinnekatunggalikaan ini harus selalu dirawat. Pendeta Ubin bersama tokoh Muslim, Hindu, dan pemerintah desa terus berikhtiar semakin merekatkan ikatan persaudaraan lewat berbagai saluran.
Dalam ikhtiar ini, Pendeta Ubin biasa mengunjungi ulama di Wonorejo dan Situbondo pada umumnya, khususnya pada momen-momen khusus, seperti Idul Fitri, demikian juga sebaliknya bagi tokoh Muslim.
Tokoh Kristen dan Islam juga melibatkan anak-anak muda dalam merawat warisan itu. Suatu ketika gereja mengundang kelompok musik hadrah anak-anak muda Muslim untuk tampil bersama pemuda-pemuda Kristen. Pada kegiatan lain, pemuda Muslim dan Kristen melakukan aksi bersama membersihkan pantai dan bagi-bagi takjil pada bulan puasa. Pada kesempatan lain, pemuda Kristen juga terlibat dalam menjaga masjid serta kendaraan umat Islam saat Shalat Idul Fitri atau Idul Adha.
Dengan semua upaya itu, warga Wonorejo tidak berhenti pada hanya bangga desanya dianggap sebagai miniatur Indonesia yang ideal. Mereka punya harapan, semua hasil ruwatan warisan leluhur itu beresonansi dan menyebar ke seluruh penjuru negeri.
"Kami ingin menggugah apa yang sudah dipelihara dan kemudian dinikmati oleh warga Wonorejo ini juga dapat dinikmati oleh sesama warga bangsa kita," demikian pesan dan harapan Pendeta Ubin.
Wonorejo, Desa Pancasila penerap toleransi sampai mati
Oleh Masuki M. Astro Selasa, 10 Oktober 2023 7:18 WIB