PKN-TMI gelar diskusi tingkatkan cakupan layanan kedokteran nuklir
Kamis, 24 Agustus 2023 23:32 WIB
Karena ini termasuk kategori berisiko tinggi, jadi perizinan untuk kedokteran nuklir yang dilakukan bertahap
Surabaya (ANTARA) - Perhimpunan Kedokteran Nuklir dan Teranostik Molekuler Indonesia (PKN-TMI) menggelar diskusi "Peran Kedokteran Nuklir Dalam Transformasi Kesehatan" untuk menyamakan pandangan dengan sejumlah jajaran terkait dalam upaya meningkatkan sebaran pelayanan di bidang kedokteran nuklir Tanah Air, Kamis.
Acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah stakeholder, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Ini merupakan bagian kegiatan tahunan kami, kesempatan kali ini kami mendatangkan berbagai pihak yang terlibat di dalam kedokteran nuklir," kata Penasihat PKN-TMI Prof Dr Achmad Hussein Sundawa Kartamihardja, dr., Sp.KN-TM, Subsp. KV(K), MH.Kes.FANMB di salah satu hotel di Surabaya.
Prof Achmad Hussein menyebut saat ini kedokteran nuklir di Indonesia pelayanan masih banyak bertumpu di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, sekalipun di sejumlah daerah juga sudah dibuka.
"Di Sumatera satu sudah berjalan dan satu belum karena terkendala izin, satu di Samarinda. Bali belum, Manado masih proses," ujarnya.
Kondisi tersebut dikarenakan keterbatasan jumlah dokter spesialis kedokteran nuklir yang tak mencapai ratusan.
"Penduduk Indonesia ini dari 270 juta sekian, tetapi kami hanya punya 60 dokter spesialis, sangat kurang," ujarnya.
Oleh karenanya forum diskusi itu dimaksudkan sebagai wadah menyelaraskan pikiran terkait upaya peningkatan jumlah dokter spesialis di bidang tersebut.
"Ini sebagai ajang meningkatkan pengetahuan, khususnya kedokteran nuklir untuk semua anggota perhimpunan dan spesialis kedokteran nuklir yang saat ini masih terbatas," katanya.
Sementara Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Yuli Astuti Saripawan menyatakan transformasi pada bidang kedokteran nuklir bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Karenanya Kemenkes sudah melakukan pemetaan wilayah untuk melakukan pendistribusian kebutuhan sumber daya manusia (SDM), baik dokter spesialis kedokteran nuklir, tenaga non medis, hingga keberadaan fasilitas pelayan, khususnya di rumah sakit yang berstatus paripurna.
"Di rumah sakit yang strata utama untuk radio nuklir seperti di Pulau Kalimantan ada Rumah Sakit Abdoel Wahab Sjahranie (AWS), nanti tahun berikutnya di Pontianak. Harapannya nanti ada di Sumatera kemudian Sulawesi," ucapnya.
Di tempat sama, Koordinator Kelompok Fungsi Perizinan Fasilitas Kesehatan Direktorat Perizinan Fasilitas Radiasi dan Zat Radio Aktif BAPETEN Iin Indartati mengatakan penerbitan izin operasional layanan kedokteran nuklir di suatu rumah sakit harus melalui sejumlah prosedur ketat, lantaran menyangkut aspek keamanan, khususnya penggunaan Radioisotop maupun Radiofarmaka.
"Karena ini termasuk kategori berisiko tinggi, jadi perizinan untuk kedokteran nuklir yang dilakukan bertahap mulai dari kegiatan konstruksi, operasi, dan yang terakhir kegiatan pembebasan pengawasan," ujarnya.
Acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah stakeholder, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Ini merupakan bagian kegiatan tahunan kami, kesempatan kali ini kami mendatangkan berbagai pihak yang terlibat di dalam kedokteran nuklir," kata Penasihat PKN-TMI Prof Dr Achmad Hussein Sundawa Kartamihardja, dr., Sp.KN-TM, Subsp. KV(K), MH.Kes.FANMB di salah satu hotel di Surabaya.
Prof Achmad Hussein menyebut saat ini kedokteran nuklir di Indonesia pelayanan masih banyak bertumpu di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, sekalipun di sejumlah daerah juga sudah dibuka.
"Di Sumatera satu sudah berjalan dan satu belum karena terkendala izin, satu di Samarinda. Bali belum, Manado masih proses," ujarnya.
Kondisi tersebut dikarenakan keterbatasan jumlah dokter spesialis kedokteran nuklir yang tak mencapai ratusan.
"Penduduk Indonesia ini dari 270 juta sekian, tetapi kami hanya punya 60 dokter spesialis, sangat kurang," ujarnya.
Oleh karenanya forum diskusi itu dimaksudkan sebagai wadah menyelaraskan pikiran terkait upaya peningkatan jumlah dokter spesialis di bidang tersebut.
"Ini sebagai ajang meningkatkan pengetahuan, khususnya kedokteran nuklir untuk semua anggota perhimpunan dan spesialis kedokteran nuklir yang saat ini masih terbatas," katanya.
Sementara Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Yuli Astuti Saripawan menyatakan transformasi pada bidang kedokteran nuklir bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Karenanya Kemenkes sudah melakukan pemetaan wilayah untuk melakukan pendistribusian kebutuhan sumber daya manusia (SDM), baik dokter spesialis kedokteran nuklir, tenaga non medis, hingga keberadaan fasilitas pelayan, khususnya di rumah sakit yang berstatus paripurna.
"Di rumah sakit yang strata utama untuk radio nuklir seperti di Pulau Kalimantan ada Rumah Sakit Abdoel Wahab Sjahranie (AWS), nanti tahun berikutnya di Pontianak. Harapannya nanti ada di Sumatera kemudian Sulawesi," ucapnya.
Di tempat sama, Koordinator Kelompok Fungsi Perizinan Fasilitas Kesehatan Direktorat Perizinan Fasilitas Radiasi dan Zat Radio Aktif BAPETEN Iin Indartati mengatakan penerbitan izin operasional layanan kedokteran nuklir di suatu rumah sakit harus melalui sejumlah prosedur ketat, lantaran menyangkut aspek keamanan, khususnya penggunaan Radioisotop maupun Radiofarmaka.
"Karena ini termasuk kategori berisiko tinggi, jadi perizinan untuk kedokteran nuklir yang dilakukan bertahap mulai dari kegiatan konstruksi, operasi, dan yang terakhir kegiatan pembebasan pengawasan," ujarnya.