Surabaya (ANTARA) - Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, karena dalam setiap jengkal langkah seorang insan akan selalu menemui hal berbeda, salah satu contohnya komposisi warna bendera Indonesia, yakni merah dan putih, yang telah diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih. Komposisi warna itu diatur secara mengikat, sehingga apabila ada yang sengaja mengubah warna, konsekuensinya akan berhadapan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Warna merah dan putih memiliki prinsip bahwa keduanya wajib hidup berdampingan, dan selamanya menjadi satu kesatuan. Apabila ada yang akan membuat bendera merah putih, maka pembuat bendera tidak bisa egois mendominasi salah satu warna saja, begitu pun dengan bentuknya, yakni harus persegi panjang dengan lebar dua pertiga dari ukuran panjangnya.
Meski si pembuat bendera suka dan mengidolakan warna putih, namun dalam pembuatannya akan memposisikan seimbang karena tahu yang akan dihadapi apabila dia sengaja membuat warna dan ukuran yang berbeda dari aturan yang berlaku.
Hal yang sama juga terjadi pada penyuka warna merah, meski dalam diri pembuat bendera sangat fanatik dengan warna merah, namun tidak bisa seenaknya membuat seluruh lapisan bendera menjadi merah, apalagi mengubahnya dengan warna pink atau batik.
Itulah yang disebut dengan kesepakatan bersama yang tertuang dalam aturan, yakni adanya konsekuensi hukum apabila mencoba atau sengaja dalam mengubah tataran yang telah disepakati bersama.
Namun demikian, dibalik kesepakatan hukum bersama tersebut bangsa Indonesia jauh sebelum merdeka juga telah memiliki ilmu kearifan lokal, atau rumus dalam menghadapi perbedaan, yakni Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan karya Mpu Tantular, artinya berbeda-beda tetapi satu jua.
Kata Bhinneka Tunggal Ika yang tertuang dalam Kitab Sutasoma itu dijadikan sebagai titik temu agama-agama yang berbeda dalam Nusantara. Tujuannya, untuk mengajarkan toleransi antarpemeluk agama ketika itu. Kemudian, frasa ini diperkenalkan oleh Mohammad Yamin pada Sidang BPUPKI pertama tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Sementara itu, rumus atau Ilmu untuk menghargai perbedaan dalam seni musik disebut dengan Harmoni, dan dalam komunikasi disebut dialektika.
Alam semesta pun demikian, mempunyai ilmu menghargai perbedaan yang disebut "pelangi" yang di dalamnya terdiri dari berbagai warna yang berbeda, namun dalam penyebutannya tetap satu yakni pelangi, tidak ada yang menyebut warna-warni atau detail dengan sebutan merah, kuning, hijau di langit yang biru, hal ini terlalu ribet.
Pelajaran
Merah putih yang dijadikan sebagai warna bendera kesatuan di negeri ini memiliki arti luas, namun dalam beberapa buku-buku sejarah pilihan warna itu didasarkan pada psikologi warna atau colour psychology.
Psikologi warna merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari warna sebagai faktor yang bisa memengaruhi perilaku manusia, dan mempelajari bagaimana pengaruh warna terhadap emosi serta tingkah laku masyarakat.
Dipilihnya warna merah putih memiliki arti bahwa merah adalah keberanian sedangkan putih adalah suci, dua kata yang memiliki kutub berbeda namun bertemu dalam satu titik yakni bendera kesatuan.
Pada dasarnya semua warna memiliki arti serta pengaruh tersendiri terhadap psikis seorang manusia, tinggal bagaimana membangun pengaruh itu menjadi prinsip tersendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Kini, warna merah dan putih telah mendominasi seluruh permukaan bumi Tanah Air, di sudut-sudut kampung, di hotel-hotel mewah hingga di Istana Merdeka sampai di tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh manusia, seperti puncak gunung dan di bawah air.
Dua warna itu mendominasi sebagai satu kesatuan bendera, tidak ada yang membantah, berkibar dengan gagah tanpa ada yang mampu menandinginya, karena selain memiliki kekuatan hukum yang tetap, dia juga merupakan kesepakatan bersama, meski berbeda, yakni merah dan putih.