Bondowoso Miliki Musik Akapela Tradisional
Jumat, 16 September 2011 12:58 WIB
Bondowoso - Kabupaten Bondowoso, Jatim, memiliki kekayaan budaya berupa musik akapela atau musik menggunakan suara mulut secara tradisional yang disebut dengan seni "pojhian" atau pujian.
"Tradisi ini sebetulnya merupakan kegiatan ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat saat musim kemarau untuk meminta turunnya hujan," kata Sugeng, SSn, MSi, pemilik Sanggar Gema Buana di Bondowoso, Jumat.
Ia menjelaskan, ritual "pojhian" itu sejak tahun 1990-an sudah langka dan hanya tinggal tokoh atau pawang yang menjadi pemimpin doa dalam ritual meminta hujan tersebut.
"Saya kemudian mencari para tokoh itu untuk melestarikan tradisi yang menurut saya sangat unik ini. Kemudian tahun 2003 saya transformasi tradisi sakral ini menjadi seni pertunjukan agar tidak punah," kata warga Prajekan, Bondowoso ini.
Menurut dia, musik mulut yang dilantunkan oleh 30 pemain seni "phojian" itu menirukan suara-suara alam yang hingga kini para pelakunya tidak tahu persis apa makna dari suara tersebut.
Di antara suara-suara dari mulut para pemain itu adalah, "lik calik harendes, horodong calelet, hempah pah humpah, bah aras" dan seterusnya. Kata-kata itu diyakini sebagai suara alam oleh pelakunya yang diwariskan secara turun temurun tanpa tahu makna sebenarnya.
Alumni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ini menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan sesungguhnya, para pelaku dalam tradisi itu bisa masuk ke dalam suasana yang transenden dengan diwarnai gerakan-gerakan seperti menari.
"Tradisi itu diawali dengan doa dalam bahasa campuran Madura dengan Jawa. Doa-doa itu berisi permintaan untuk kesuburan dan keselamatan bagi umat manusia. Sampai sekarang saya belum tahu persis dari mana akar tradisi ini," katanya.
Sang pawang itu, katanya, memanjatkan doa di lokasi yang penuh dengan sesajen dan dupa yang ditempatkan di tempat terbuat dari tanah.
Setelah memanjatkan doa, sang pawang kemudian berjalan menuju ke tempat kerumunan para pemain musik akapela tersebut. Sang pawang kemudian memandu para pengiring itu menuju tempat berdoa sebelumnya. Sambil berjalan, mulut para pengiring terus melantunkan musik-musik mistis itu.
"Di tempat sesaji itu, pawang dan para pengiring kemudian berputar dengan gerakan tari sambil menaburkan beras kuning ke empat penjuru dan di bagian tengah," katanya.
Menurut Sugeng, karena saat ini tidak digunakan untuk ritual, maka sejumlah properti, seperti sesajen dikurangi untuk menyesuaikan dengan lokasi tempat pertunjukan.
Ia menjelaskan, tradisi pojhian itu biasanya dimainkan bersambung dengan kesenian singo ulung. Singo ulung adalah kesenian khas Bondowoso yang menampilkan singa mainan berbulu putih yang setiap macan dimainkan oleh dua orang.
"Tradisi pojhian dan singo ulung ini biasanya pentas kalau ada orang hajatan, terutama pernikahan atau kalau kami diundang oleh pemerintah. Selain itu kami juga sudah pentas ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Bali dan Yogyakarta," katanya.
Sugeng yang berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta, namun separuh lebih dari usianya dihabiskan di Bondowoso ini mengatakan, kabupaten penghasil tape ini sangat kaya dengan seni tradisi.
"Sampai saya ini seperti minum air garam kalau menggali seni tradisi Bondowoso ini. Sepertinya tidak pernah habis. Banyak sekali dan sayang kalau sampai punah," kata mantan guru SD yang kini berdinas di Kantor Pariwisata, Pemuda, Olahraga dan Perhubungan ini.