Bondowoso (ANTARA) - Sabtu sore, 24 Juni 2023, suasana di ruangan sederhana lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kelurahan Tenggarang, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, tampak ramai.
Anak-anak mengenakan toga warna perpaduan biru dengan hitam. Mereka mengikuti ibu-ibu yang mengantar anaknya diwisuda itu, duduk lesehan beralaskan tikar plastik.
Wisuda Kelompok Belajar PAUD Anak Sholeh Kelurahan Tenggarang itu digelar dengan sederhana. Acara itu tidak banyak mengeluarkan biaya bagi orang tua murid karena hanya memanfaatkan ruang sekolah berukuran sekitar 5 x 6 meter yang terdapat beberapa sekat.
Di ruangan itu prosesi wisuda digelar, yang diawali dengan musik lantunan selawat atas Nabi Muhammad Saw. Anak-anak maju satu per satu dengan wajah riang. Demikian juga wajah orang tua yang mengantar, turut memancarkan kegembiraan serupa.
Dalam beberapa pekan terakhir, prosesi wisuda di luar sarjana banyak mendapat sorotan karena ada orang tua yang mengeluhkan terkait biaya untuk acara itu.
Selain dipanggil maju ke depan untuk menyalami guru, murid-murid yang mau lulus dari PAUD itu juga mendapatkan hadiah buket berisi bermacam makanan ringan.
Pengelola sekaligus Kepala PAUD itu Evy Yulistiowati Pramono, S.Pd. menjelaskan sejatinya acara itu merupakan bentuk perpisahan. Agar terlihat meriah, maka sekalian dilakukan prosesi semacam wisuda.
Acara itu betul-betul tidak memberatkan orang tua, apalagi di lingkungan sekolah itu merupakan masyarakat kelas bawah yang sangat peka jika terkait dengan pungutan untuk kegiatan sekolah.
Acara itu dilakukan karena melayani keinginan para wali murid, namun tidak memberatkan. Biaya satu-satunya yang harus ditanggung oleh orang tua murid adalah sewa toga, masing-masing Rp15.000 per anak.
Selebihnya, termasuk camilan untuk orang tua dan anak, diambilkan dari operasional sekolah ditambah dari saku pengelola. Intinya, kegiatan itu membuat sekolah, orang tua, dan anak didik sama-sama bahagia.
Dengan wisuda itu anak-anak memiliki kenang-kenangan berupa foto. Di sisi lain sekolah yang berada di tengah perkampungan padat itu juga diuntungkan untuk menarik anak usia PAUD agar pada tahun ajaran baru mau bersekolah.
Evy menjelaskan bahwa mengelola PAUD itu betul-betul hanya untuk pengabdian kepada masyarakat. Pembentukan lembaga pendidikan prasekolah itu betul-betul merupakan wujud partisipasi masyarakat untuk menjadi bagian dari upaya Pemerintah dalam mencerdaskan bangsa.
Evy beruntung bahwa keberlangsungan lembaga pendidikan yang menggunakan gedung di salah satu rumah tokoh masyarakat di Tenggarang didukung oleh guru-guru yang ikhlas dan bekerja tidak berorientasi pada bayaran semata.
Para pengajar berhati ikhlas di PAUD itu adalah Siti Jamilah, Soewasti Retna Wandari, dan Vanny Setya. Ketiganya adalah perempuan yang rela meluangkan waktu di sela tugas keluarga untuk mendampingi anak-anak PAUD agar jiwa mereka bertumbuh dengan penuh ceria.
Terkait polemik wisuda untuk sekolah itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso hadir sebagai representasi negara dengan mengeluarkan imbauan.
Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso tidak melarang sekolah menggelar wisuda karena disadari bahwa acara itu juga menjadi keinginan sebagian orang tua siswa, meskipun ada sebagian yang lain menolak. Hanya saja, terkait biaya, hendaknya acara itu dilaksanakan di gedung yang tidak perlu biaya sewa.
Dinas pendidikan menekankan agar acara itu dilaksanakan di sekolah masing-masing sehingga tidak banyak mengeluarkan biaya. Keluhan mengenai beban biaya dari wisuda itu harus betul-betul menjadi perhatian para pimpinan di setiap sekolah.
Sebetulnya, jika pelaksanaan wisuda itu tidak ada niat "berebut wah" antarsekolah, tidak akan banyak membebani orang tua siswa.
Oleh karena itu, diperlukan kreativitas sekolah, termasuk para guru dengan menyerap aspirasi murid dan orang tua agar wisuda tetap berjalan, sementara orang tua siswa tidak terbebani.
Kreativitas itu, misalnya, anak-anak yang lulus diwajibkan membuat topi toga sendiri dari kertas atau kain bekas, termasuk toga. Misalnya, toga dibuat dari kertas bekas atau kain bekas sarung, bahkan juga karung. Keunikan-keunikan seperti itu akan memunculkan kemeriahan dan kegembiraan, tanpa orang tua terbebani dengan biaya.
Secara psikis, acara yang bertabur kreativitas itu juga menanamkan kesan mendalam bagi para siswa yang sudah lulus dan akan meninggalkan bangku sekolah menuju jenjang pendidikan berikutnya. Dari sisi konten berita, kegiatan seperti itu dipastikan akan menarik minat pekerja media dan masyarakat yang selama aktif di media sosial untuk dijadikan konten. Syukur-syukur bisa viral.
Ketika acara yang penuh kreativitas itu viral di media sosial dan konvensional, maka sangat mungkin tradisi itu akan menjadi budaya baru terkait pelaksanaan wisuda yang tidak lagi bertumpu pada semangat saling tampil mewah antarsekolah.
Wisuda pada masa-masa mendatang akan dipenuhi dengan ide-ide kreatif yang akan memiliki dampak berganda secara ekonomi dan alternatif hiburan bagi masyarakat sekitar sekolah. Jika setiap acara wisuda selalu meriah, maka terbuka peluang ekonomi di dalamnya, dengan banyaknya penjaja makanan dan lainnya.
Kita bisa belajar dari ajang Jember Fashion Carnival (JFC) yang berawal dari acara kumpul-kumpul keluarga setiap Lebaran atau Idul Fitri. JFC yang dimotori oleh Dynand Fariz (almarhum) diawali dari pertemuan keluarga Besar H. Tirto Soetowo, yang merupakan orang tua dari Dynand Fariz.
Dalam beberapa tahun, ketika Dynand Fariz membuka peluang bagi masyarakat Jember untuk menggali kreativitasnya, ajang peragaan busana itu pindah ke jalanan. Kini gaung JFC sudah mendunia.
JFC pun menjadi kalender pariwisata tahunan yang banyak ditunggu wisatawan di luar negeri.
Mendamba wisuda menjadi ajang kreativitas
Oleh Masuki M. Astro Sabtu, 24 Juni 2023 22:44 WIB