Mengubah Tradisi Agar Perempuan Ikut Shalat Id
Kamis, 1 September 2011 17:09 WIB
Bondowoso - Kesempatan melaksanakan ibadah bagi kaum perempuan di kalangan masyarakat tertentu masih menjadi masalah karena kuatnya budaya patriarki.
Di Kabupaten Bondowqso, salah satu wilayah dengan tradisi asal Madura masih mengalami "persoalan" semacam tersebut, meskipun sebagiannya sudah bisa menyelesaikannya.
Sebagaimana juga terjadi di sebagian kalangan tertentu di Madura, kaum perempuan di Bondowoso tidak memiliki kesempatan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri sebagaimana kaum lelaki karena di hari kemenangan itu mereka sibuk dengan urusan dapur.
Pada saat kaum lelaki dengan baju baru berangkat menuju masjid atau mushala, kaum perempuan sibuk di dapur menyiapkan hidangan untuk diantar ke mushala atau masjid atau saling antar dengan para tetangga.
"Tapi ini cerita dulu, sekarang kaum perempuan di sini sudah bisa melaksanakan shalat Id sama dengan kaum lelaki," kata Evy Yulistiowati, warga di Kecamatan Tenggarang, Bondowoso.
Ia menceritakan, hilangnya tradisi perempuan sibuk di urusan domestik itu bukan semata-mata hasil dari perjuangan kaum perempuan, melainkan juga karena menjadi "kegelisahan" kaum lelaki di sekitar tahun 1990-an.
Ketika itu para tokoh masyarakat mencari cara agar kaum perempuan tidak disibukkan oleh hal-hal yang dianggapnya tidak esensial pada saat kaum lelaki berbondong-bondong ke tempat-tempat ibadah menyambut hari kemenangan setelah sebulan berpuasa.
"Akhirnya dibuatlah cara agar urusan 'ter-ater" atau saling antar makanan dan selamatan sebagai pertanda habisnya bulan puasa itu diselesaikan dan dilaksanakan pada malam takbiran. Maka paginya ibu-ibu sudah tidak ada urusan lagi dengan dapur," katanya.
Hapi Tedjo Pramono, tokoh masyarakat di Tenggarang yang ikut memelopori agar kaum perempuan bisa melaksanakan shalat Id, mengatakan bahwa memang tidak mudah mencari cara agar ada kebersamaan dalam hal ibadah tersebut.
Akhirnya ditemukan kompromi dengan tidak menghilangkan tradisi yang sudah mengakar di masyarakat tersebut. Tradisi "ter-ater" tetap jalan, tapi tidak mengganggu jadwal shalat.
"Syukurlah sekarang sudah bisa berjalan dengan baik, termasuk kaum perempuan juga banyak yang melaksanakan shalat tarawih selama bulan puasa," katanya.
Ustaz Joko Wisrtan, tokoh masyarakat di Desa Pejaten, Kecamatan Tenggarang, juga mengakui hal sama. Di desanya dulu juga terjadi semacam perbedaan kesempatan melaksanakan ibadah, khususnya shalat Id bagi kaum perempuan.
Formula penyelesaian di desanya juga sama dengan yang dilakukan warga Kelurahan Tenggarang, yakni mengubah jadwal "ter-ater" sehingga tidak mengganggu ibadah.
"Ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak saya kecil, kaum perempuan di Pejaten sudah bisa melaksanakan ibadah shalat Id," katanya seraya menjelaskan bahwa hilangnya kesempatan kaum perempuan untuk shalat Id itu kemungkinan terjadi di awal-awal tahun 1980-an ke belakang.
Sementara Winarsih, warga Mas Kuning, Kecamatan Pujer, mengatakan bahwa hilangnya tradisi selamatan "ter-ater" yang dilaksanakan bersamaan dengan shalat Id itu sekitar empat tahun yang lalu.
Saat itu, katanya, ada keinginan kaum perempuan untuk bisa beribadah shalat Id. Pada saat acara tertentu, termasuk sehabis shalat tarawih, kaum ibu itu berdiskusi mengenai hal tersebut.
"Saat itu kaum ibu juga sudah banyak yang ikut melaksanakan shalat tarawih yang biasanya juga hanya diikuti kaum lelaki. kaum ibu berembuk, akhirnya urusan selamatan hari raya dilaksanakan pada malam takbiran," katanya.
Ia menjelaskan bahwa tradisi selamatan selesainya Bulan Ramadhan di daerahnya bukan lagi dalam bentuk "ter-ater", melainkan saling mengundang antartetangga.
Memang ia mengakui bahwa tradisi saling undang untuk selamatan saat malam takbiran itu masih ada sesuatu yang mubazir karena makanan cenderung melimpah.
Hal itu terjadi karena dalam satu kelompok masyarakat bisa jadi 10 rumah tangga yang melaksanakan acara selamatan. Padahal pada setiap rumah pengundang selalu diberi bungkusan nasi dan lauk serta aneka jajanan yang biasa disebut "berkat".
"Iya memang, makanan menumpuk dan cenderung tidak termakan. Tapi untungnya kami kaum perempuan bisa melaksanakan ibadah shalat Id," katanya.
Mengubah kebiasaan memang tidak mudah, termasuk masih adanya tradisi "ter-ater" saat orang melaksanakan shalat Id, khususnya di desa-desa. Membutuhkan kesadaran bersama atau peran tokoh penting di suatu wilayah untuk mengubahnya.*