Surabaya (ANTARA) - Ini bukan kunjungan biasa. Kunjungan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ke Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat (25/5/2023), memiliki nilai strategis.
Bisa saja kunjungan itu dinilai sebagai kunjungan balasan, karena PBNU juga telah melakukan kunjungan ke Kantor PP Muhammadiyah saat menjelang Agenda R20 di Bali pada awal November 2022.
Namun, kedekatan hubungan kedua organisasi massa Islam yang berkelas dunia itu sudah lama terjadi dan dibangun para leluhur mereka, bahkan NU dan Muhammadiyah itu lahir dari "rahim" yang sama.
Dalam sebuah riwayat, pendiri perserikatan Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dengan pendiri jamiyyah NU KH Hasyim Asy'ari, ketika belajar di Makkah, Saudi Arabia, tercatat memiliki guru yang sama.
Guru mereka adalah KH Sholeh Darat Assamarani, ulama salaf berhaluan ahlussunah wal jamaah. Meskipun begitu, "rahim" atau "nasab" yang sama tidak harus sama dalam "nasib".
Tidak hanya itu, hubungan baik kedua organisasi itu juga "menurun" pada era kepemimpinan Buya Hamka dengan KH Syaifuddin Zuhri atau era kepemimpinan Gus Dur dengan AR Fachruddin.
Hal yang menarik, keduanya sudah lama mengalami perbedaan yang tidak membuatnya saling menyalahkan. Para pemimpin mereka memahami perbedaan itu untuk saling menghormati, bukan sebaliknya, saling menyalahkan.
Jika Muhammadiyah shalat tarawih 11 rakaat plus witir, tidak melantunkan doa qunut pada Shalat Subuh dan menentukan awal Ramadhan serta 1 Syawal (terkadang) berbeda dengan NU, termasuk niat shalat, selawat, tradisi (tahlil, selamatan/kenduri, dibaiyah, barzanji), maulid nabi, hingga perbedaan madzhab/rujukan.
Semua perbedaan itu tidak bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan, karena hal itu bukan perbedaan ushul (pokok). Soal rukyat dan hisab, misalnya, NU dan Muhammadiyah sama-sama mamakai Hadits Bukhari-Muslim, satunya menggunakan prinsip "melihat hilal" dan satunya berpijak pada kaedah "umat-ku ummi" (bodoh) dan sekarang ada IT (tidak bodoh lagi).
Pelajaran keren. Para petinggi NU dan Muhammadiyah memahami perbedaan sebagai sunnatullah atau sebagai hukum alam. Perbedaan dimaknai dan diyakni sebagai rahmah, karena perbedaan itu ada untuk "lii ta'arofu" (saling mengenal), bukan memahami perbedaan untuk mengajak berseberangan, seperti yang mengemuka pada era digital saat ini.
Oleh karena itu, tidak perlu ada upaya mendorong kedua organisasi itu menjadi satu, karena dengan karakter berbeda justru menjadikan keduanya bisa saling "bersaing" dalam melayani masyarakat dan pada titik tertentu justru perbedaan juga harus mendorong kerja sama.
Bahkan, sejarah sudah membuktikan ketika bangsa ini mengalami masalah, justru keduanya tidak terlibat dalam adu domba, tapi tampil menjadi pemadam, "pencuci piring", dan bahkan tampil menjadi penjaga moral bangsa.
Saling kunjung antara pemimpin NU dan pemimpin Muhammadiyah itu tetaplah pertemuan yang luar biasa, apalagi bagi mereka yang memosisikan kedua ormas itu secara diametral. Bagi yang tidak begitu pun tetap menarik, karena saat ini tahun politik.
Baca juga: Kristen Muhammadiyah dan NU Cabang Nasrani
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf saat menerima kunjungan jajaran petinggi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berujar bahwa dalam politik perlu ada kepemimpinan moral supaya tidak disetir dengan kepentingan-kepentingan pragmatis. Kedua organisasi non-politik itu telah memainkan peran sebagai penjaga moral bangsa hingga perjalanan negeri ini mencapai keadaan saat ini.
Hal itu pun "di-amin-i" oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang mengatakan bahwa kepemimpinan moral diharapkan dapat menjadikan Pemilu 2024 lebih bermartabat.
Bagi Haedar, kepemimpinan moral itu melahirkan arah dan visi kebangsaan yang jelas, sehingga kontestasi politik tidak hanya berupa ajang mencapai kekuasaan semata, tapi berangkat dari pondasi yang diletakkan para pendiri bangsa.
Jalinan silaturahmi antara petinggi kedua ormas besar itu diapresiasi oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai pertemuan yang mencegah polarisasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Bagi Ma'ruf Amin, selain partai politik, perjalanan bernegara bangsa ini juga dimainkan oleh kelompok strategis masyarakat, terutama ormas-ormas.
Pertemuan serupa semestinya juga dilakukan organisasi kemasyarakatan lain untuk mencegah terjadinya pembelahan di masyarakat menjelang atau pada saat Pemilu 2024.
NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan non-politik haruslah tetap menjadi teladan dalam kepemimpinan moral yang mendorong kepemimpinan yang lebih baik di tengah komponen bangsa yang majemuk.
Moral di sini tidak bisa disederhanakan tentang baik dan buruk, namun moral sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Para pemimpin politik hendaknya belajar banyak dari kepemimpinan moral NU dan Muhammadiyah, setidaknya dalam dua pilar yang "menjaga" bangsa ini tetap berkembang, yakni nasionalisme dan toleransi.
Kedua pilar itu fokus pada kepentingan publik secara jasmani (kesejahteraan) dan jiwa (kebersamaan dalam perbedaan), sehingga pesta demokrasi "Pemilu 2024" juga harus dimaknai untuk menjaga nasionalisme dan toleransi itu, termasuk di era digital.
Indonesia dan Islam adalah kesatuan. NU dan Muhammadiyah harus menjadi "pelita" dalam kesatuan itu. Ada rasa nasionalisme di sana. NU dan Muhammadiyah harus berdiri di depan dalam membuktikan janji kemerdekaan. NU dan Muhammadiyah boleh berbeda manhaj, ubudiyah-muamalah, tetapi keduanya harus tetap kompak dalam satu gelombang dan satu kekuatan ketika berbicara masalah moral kebangsaan, NKRI dan Pancasila, UUD 1945, serta prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Telaah - NU-Muhammadiyah dan sang penjaga moralitas (2024)