Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman geram karena Amerika Serikat terus menekan Saudi agar tak memangkas produksi minyaknya.
Sanksi Barat kepada Rusia berkaitan dengan invasi di Ukraina gagal mengamputasi kemampuan Rusia dalam mengongkosi perang di Ukraina, salah satunya karena sumbangsih harga minyak yang justru melambung tinggi.
Rusia diuntungkan oleh harga minyak tinggi ini. Sebaliknya, harga minyak yang tinggi berpengaruh buruk terhadap dunia, terutama negara-negara yang tergantung minyak impor.
Ketika negara-negara OPEC+ bertemu pada 5 Oktober 2022, AS menekan Saudi agar memprakarsai kenaikan produksi agar pasokan global berlebih sehingga harga minyak tak lagi tinggi.
"Saya terus saja mendengar, kalian kawan kami atau bukan? Adakah ruang bahwa, 'kami hadir demi Arab Saudi dan demi rakyat Arab Saudi?" kata Pangeran Abdulaziz.
Pada akhirnya Saudi tak menggubris permintaan AS. Produsen minyak mentah terkemuka di dunia ini malah memimpin OPEC+ memangkas produksi minyak sampai 2 juta barel per hari.
Alhasil, harga minyak tetap tinggi dan krisis energi pun kian menyengsarakan banyak negara, dari negara kaya di Eropa pendukung Ukraina, sampai negara-negara miskin yang rentan dari krisis energi.
Keadaan itu memperparah situasi yang sudah buruk akibat krisis pangan dan wabah inflasi yang mengganas ketika pandemi COVID-19 memasuki fase akhirnya.
Sikap Saudi itu adalah salah satu gambaran besar mengenai pergeseran dalam kebijakan luar negeri negara yang menjadi kustodian Kota Suci Mekah dan Madinah itu.
Mereka tak lagi bertindak karena kepentingan global dan sekutu-sekutunya seperti Amerika Serikat.
Di bawah pemimpin de facto Pangeran Mohammed bin Salman, Saudi semakin fokus ke dalam negeri dalam memburu kepentingan-kepentingan nasionalnya dalam tingkat maksimum.
Jika Amerika Serikat kala diperintah Donald Trump mengenal adagium "America First" untuk melukiskan kebijakan politik luar negeri yang meluluskan kepentingan nasional di atas segalanya, maka Arab Saudi pun sekarang mengenal "Saudi First".
Salah satu pemimpin dunia Arab dan dunia Islam itu kini mengadopsi pendekatan yang fokus ke dalam negeri.
Namun, itu bukan karena mereka sudah sebal didikte oleh Amerika Serikat atau karena tengah mendekat ke Rusia.
Mereka melakukan itu semua karena desakan kebutuhan domestik.
Berbaikan dengan Suriah
Saudi bahkan sudah tak lagi ingin menjadi dermawan tanpa pamrih bagi tetangga-tetangganya di dunia Arab atau negara-negara Muslim lain di dunia ini yang berharap bantuannya.
Sebaliknya, Saudi menjadi tak sabar melihat dampak bantuannya kepada sebuah negara terhadap perbaikan keadaan di negara itu.
Saudi sudah mengalirkan bantuan bernilai miliaran dolar ke negara-negara seperti Lebanon, Mesir, Pakistan, dan banyak lagi.
Ternyata, bantuan sebanyak itu tak membuat negara-negara yang dibantu Saudi menjadi lebih baik secara ekonomi. Yang terjadi, wabah korupsi malah meluas, seperti terjadi di Lebanon dan Mesir.
Keadaan seperti ini tak saja menggerogoti keuangan Saudi, tapi juga kemampuan kelompok politik dukungan Saudi di suatu negara.
Taruhlah faksi Sunni di Lebanon yang tak kunjung bisa menandingi kelompok Syiah Hizbullah dukungan Iran, karena korupsi dalam tubuh faksi dukungan Saudi telah membuat mereka tak bisa menjadi kelompok politik yang efektif.
Tak heran Saudi kemudian memangkas bantuan untuk faksi Sunni di Lebanon.
Hal sama mereka lakukan terhadap Mesir. Saudi menuntut lebih kepada Presiden Mesir Abdel Fattah El Sissi, karena bantuan dana dari Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya, tak membuat Mesir menjadi lebih baik.
Memang "ada udang di balik batu" di balik tuntutan Saudi itu. Dalam kerangka Mesir, Saudi menginginkan Mesir menswastanisasi sektor-sektor publik sehingga Saudi bisa memilikinya.
Bisa juga karena Saudi menginginkan Pulau Tiran dan Sanafir di mulut Teluk Aqaba yang kabarnya sudah dijanjikan Mesir untuk dimiliki Saudi.
Namun, dalam politik memang "tidak ada makan siang yang gratis". Pun dengan bantuan Saudi ke negara-negara seperti Mesir.
Ini lebih karena ada pergeseran kesadaran dalam pemerintahan Saudi saat ini bahwa segala uang dari pajak rakyat dan penerimaan negara seharusnya kembali ke negara dan tak boleh menguap begitu saja.
Lain hal, Saudi berusaha berbaikan dengan Bashar al Assad di Suriah dan juga Houthi di Yaman, bahkan dengan Iran yang menjadi sponsor baik Assad maupun kelompok Syiah, Houthi.
Selama ini Saudi sudah mengalirkan dana puluhan miliar dolar AS untuk menggulingkan Assad dan menyingkirkan Houthi dari Yaman.
Alih-alih berhasil, kekuasaan Assad dan Houthi tetap mencengkeram kuat di dua wilayah itu. Sebaliknya, keuangan dan energi Saudi terhisap tanpa menciptakan resultante yang menguntungkan Saudi, baik dari sudut geopolitis maupun perubahan rezim di dua wilayah itu.
Saudi adalah pendukung utama kelompok Sunni Suriah yang berusaha meruntuhkan Assad. Saudi sendiri ingin menyaksikan Assad yang Syiah Alawiyah itu tumbang.
Namun, sampai perang Suriah memecah negeri ini menjadi wilayah-wilayah yang dikuasai berbagai faksi, termasuk pemerintahan Assad, presiden Suriah yang mendapatkan dukungan Iran dan Rusia justru semakin tak tergoyahkan.
Situasi itu membuat Saudi berpikir dua kali untuk melanjutkan kampanye mendongkel Assad. Mereka kini dipaksa oleh realitas politik untuk mengakui Assad.
Perbanyak opsi
Lebih dari itu, Saudi sudah tak mau lagi mengongkosi konflik yang tak bisa mereka menangkan.
Mereka kini ingin mengalihkan semua energi untuk membangun negerinya menjadi kekuatan terpenting dalam berbagai matra, tidak saja dalam spektrum Timur Tengah, tetapi juga di panggung global.
Saudi kabarnya berusaha berdamai dengan Assad dengan syarat presiden Suriah ini menjaga jarak dari Iran.
Pun terhadap Houthi. Sepanjang Houthi berkomitmen tak memuntahkan rudal ke wilayah Saudi, Riyadh siap memastikan Yaman menyelesaikan masalahnya dengan adil dan damai.
Saudi juga berusaha berbaikan dengan Iran, apalagi ada indikasi terjadi pertarungan politik yang besar antara kelompok garis keras dan moderat di sana.
Kontak-kontak informal sudah dijalin dengan Iran, melalui pemerintahan Irak ang sama-sama Arab tetapi berpemerintahan dan berpenduduk mayoritas Syiah seperti Iran.
Bukan hanya dengan Iran, Saudi juga tak lagi keras terhadap Israel, sampai membiarkan sekutu-sekutunya seperti Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko, menormalisasi hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.
Di pelataran global lainnya, Saudi tak lagi cuma melihat kawan dari satu keyakinan.
Mereka kini melihat mitra dari perspektif yang lebih pragmatis, bahwa apakah negara itu secara ekonomi menguntungkan Saudi atau tidak.
Itu adalah manifestasi lain dari sikap menomorsatukan kepentingan nasionalnya.
Ekspresi nyata dari sikap itu tercermin dari saat mereka menswastanisasi perusahaan minyak terbesar di dunia, Saudi Aramco.
Para penguasa Saudi dipimpin Raja Salman, malah safari ke Asia Timur untuk menjumpai Indonesia dan berakhir di China, karena uang ada di sini, karena yang mampu membeli minyak Saudi Aramco ada di kawasan ini.
Tak hanya itu, Saudi tak mau lagi hidup dalam satu opsi sekutu, entah itu Amerika Serikat atau lainnya. Mereka bahkan tak ingin lagi mewajibkan konsumen minyaknya memakai dolar AS.
Mereka berusaha memperbanyak opsi di tengah dunia yang sudah begitu multipolar.
Tekad ini kian penting karena Saudi bernafsu
mewujudkan Visi Saudi 2030 saat negeri ini tak lagi tergantung kepada minyak dan sebaliknya mendiversifikasi ekonominya ke banyak sektor, mulai dari pariwisata, sains, sampai kesehatan, dan banyak lagi.
Dalam kerangka itu pula Saudi ingin masuk persekutuan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), sekalipun sudah menjadi anggota terkemuka G20.
Saudi menginginkan ini semua bukan karena China dan Rusia atau lainnya lebih baik ketimbang Amerika Serikat.
Mereka tengah mencari segala opsi yang membuatnya kian independen dan bisa menggapai segala keuntungan ekonomi, budaya, politik, serta matra apa pun pada tingkat maksimum dan di mana-mana.
Saudi kini beda, lebih menomorsatukan kepentingan nasionalnya
Selasa, 28 Februari 2023 18:45 WIB