Pacitan (ANTARA) - Kabar mengenai penemuan gunung bawah laut di perairan dalam barat daya (111,039 BT, 10,661 LS) Kabupaten Pacitan sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru, terutama bagi masyarakat geologi di Tanah Air. Tonjolan bumi yang ada di kedalaman 6 ribu meter di bawah permukaan laut Samudera Hindia itu konon sudah terdeteksi sejak 2006.
Namun, baru terdeskripsi secara jelas setelah tim geolog dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan survei Landas Kontinen Indonesia (LKI) di selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada rentang waktu September hingga November 2022.
Laiknya menemukan sebuah harta karun berharga, kabar-berita inipun dengan cepat menjadi isu nasional yang cukup mendapat perhatian masyarakat luas.
Viral pula di jagat maya. Dan seperti biasa, warganet pun heboh dan bermunculan berbagai spekulasi yang pada salah satu ujungnya khawatir tentang status gunung bawah laut tersebut.
Apakah masuk golongan gunung api aktif atau bukan? Jika aktif, dikhawatirkan suatu saat akan terjadi letusan besar yang bisa memicu tsunami, seperti pernah terjadi di Lepas Pantai Tonga Kepulauan Fiji pada awal Januari 2022.
Kekhawatiran ini wajar, karena ya namanya gunung acapkali dikaitkan dengan aktivitas kevulkanologiannya. Apalagi di Pacitan, aktivitas seismik yang berkaitan dengan kegempaan frekuensinya cukup tinggi.
Meskipun dengan magnitudo rendah (di bawah magnitudo 5) dalam sehari terkadang aktivitas seismik bisa terdeteksi 5-10 kali. Bahkan bisa belasan kali.
Tapi terkadang kegempaan itu tidak begitu terasa karena bermagnitudo 2-3. Apakah kedua hal ini berkaitan? Tentu hal ini butuh kajian dan penelitian lebi lanjut.
Apapun, berteori dan berasumsi itu boleh. Tapi tentu jangan sampai kebablasan sehingga menjadi halusinasi. Sebab jika spekulasi itu memiliki dasar analisis yang kuat dan teruji secara akademik, isunya bisa menjadi liar dan menyesatkan.
Tetap gunakan rujukan analisis yang jelas dan bertanggung jawab supaya kabar berita temuan gunung bawah laut yang berjarak 200 kilometer barat daya Kabupaten Pacitan tidak justru menjadi ancaman dan mimpi buruk bagi masyarakat pesisir selatan Jatim dan Jateng yang ada di dekatnya.
Sebab bagaimanapun, gunung bawah laut itu tentunya tidak serta merta terbentuk dalam satu-dua kali kejadian gempa. Namun pasti berproses dalam jangka waktu sangat lama.
Dan faktanya, setidaknya sampai keberadaan gunung bawah laut itu terpetakan tim BIG-BRIN, tidak pernah pernah ada cerita dalam sejarah aktivitas kegunungapian di laut selatan Jawa ini. Aktivitas seismik yang kerap terjadi, sebagaimana keterangan BMKG maupun pihak BIG, lebih dipengaruhi oleh gerakan tektonik pada lempeng bumi Eurasia.
Karenanya, penting sekali berfikir positif akan keberadaan gunung bawah laut ini. Seperti juga pesan dan imbauan yang disampaikan Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji serta Kepala Pelaksana BPBD Pacitan Erwin Andriatmoko, beberapa waktu lalu. Tetap waspada itu perlu, panik jangan.
Tanpa bermaksud menisbikan kemungkinan aktivitas vulkanologinya, yang jauh lebih penting untuk diwaspadai adalah potensi seismik dari gerakan tektonik lempeng yang bisa memicu ketidakstabilan lereng pada struktur gunung bawah laut yang disebut memiliki ketinggian sekitar 2.300 meter dari dasar laut dalam tersebut karena bisa mempengaruhi perubahan kolom laut dan tsunami.
Selebihnya, kita berharap gunung bawah laut ini bisa menjadi “surga” bagi biota dan ekosistem laut dalam sehingga memberi dampak positif bagi kehidupan kemaritiman di pesisir selatan Jawa. Seperti nama “Jogo Jagat” yang diusulkan Bupati Nur Bayuaji untuk penamaan gunung yang puncaknya terdeteksi berada di kedalaman 3.800 ribu meter dari permukaan laut Samudera Hindia tersebut.