Surabaya (ANTARA) - Suara adzan bersahutan di beberapa masjid di Desa Ntoke, salah satu desa di Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada suatu maghrib, atau sekitar pukul 17.30 Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Desa itu terletak di paling timur Wera, berbatasan langsung dengan Desa Nunggi, di sisi baratnya. Sedangkan di sisi utara dan selatan adalah pegunungan. Ya, di Nunggi maupun Wera, sisi kanan-kirinya berbatasan langsung dengan bukit-bukit.
Salah seorang warga, Muhammad Tayeb, tampak bergegas meninggalkan aktivitasnya, usai mendengar muadzin mengumandangkan suara adzan.
Tayeb mengambil sarung dan kopyah, lalu bergegas menuju masjid untuk mengikuti ibadah shalat maghrib berjamaah. Usai menunaikan Rukun Islam yang kedua itu, ia kembali melakukan aktivitasnya, berjualan martabak. Kalau di sebagian tempat, orang menyebut penganan itu "terang bulan" atau "martabak manis".
Usianya yang sudah lanjut, sekitar 70 tahunan, tak menyingkirkan semangatnya berdagang. Menggunakan kompor gas dua tungku, lalu wajan cetakan, tangan Tayeb sangat terampil menuangkan adonan yang sudah dibuat sebelumnya.
Adonan ditaburi dengan gula, lalu semenit kemudian ditambah taburan kacang yang sudah dihaluskan. Tunggu dua-tiga menit, adonan sudah siap. Sebelum dipotong menjadi empat bagian, lapisannya diolesi margarin.
"Santa’be ta, waur mami (silakan, ini sudah matang)," kata Tayeb dalam bahasa daerah, kepada salah seorang pembeli. Diberikannya lima martabak yang dipesan.
Setelah diterima, si pembeli tak membayarnya dengan uang tunai, melainkan hasil bumi. Saat itu, Tayeb menerima biji jagung yang sudah dimasukkan ke dalam karung.
Tidak penuh satu karung, karena pembeli hanya memesan lima martabak. Per martabak, biasanya ia menerima sekitar satu kilogram biji jagung. Terkadang juga padi, ataupun beras. Tapi kalau ada yang bayar dengan uang juga tidak ia tolak.
Terdengar dan terlihat seperti biasa memang. Tapi, yang tak biasa adalah waktu berdagangnya. Dalam setahun, Tayeb berjualan sekali saja, atau hanya sekitar sebulan. Ia rela datang jauh-jauh dari Desa Nunggi, lalu menumpang berjualan di halaman rumah orang di Desa Ntoke.
Selama sebulan, ia juga harus rela meninggalkan keluarganya karena tidak sempat pulang. Ia menginap di bagian bawah rumah warga yang mayoritas berbentuk rumah panggung berbahan kayu.
Momentum itu biasanya terjadi saat pertengahan tahun, atau tepat masa panen warga Ntoke. Di desa berpenduduk sekitar 4.000 jiwa itu dikenal penghasil jagung dan padi. Saat musim panen jagung, produksinya bisa mencapai hingga 500 ton.
Tayeb sudah berjualan yang "hanya setahun sekali" itu selama puluhan tahun. Martabaknya dikenal paling enak. Warga maupun para petani di Ntoke sudah tak meragukan kualitas rasa yang disebutnya tak pernah berubah.
Ada yang menyebut mereka kangen makan martabak buatan pria asli kelahiran Bima itu. Apalagi, di rumah tempat tinggalnya di Desa Nunggi, Tayeb tak berjualan martabak.
Kalau di rumah, setiap hari anak-anaknya jualan kue dadar gulung dan bakpao dengan membuka lapak sederhana di halaman rumah.
Selama berjualan di Ntoke, setiap harinya ia bangun sebelum Subuh untuk meracik adonan dan dibantu oleh anak perempuannya.
Dulu, Tayeb dibantu istri, tapi sekarang dia sudah harus di rumah dan diganti anak perempuannya, Akma, anak ketiga dari total tujuh buah hati yang keseluruhannya sudah berkeluarga.
Setiap hari, lapaknya sudah harus siap sebelum cuaca terang. Saat itu pulalah petani-petani melintas dan menjadi waktu favorit untuk membeli martabak sebagai bekal di sawah.
Lapak baru tutup sekitar pukul 22.00 WITA, yang kemudian dimanfaatkan untuk istirahat. Tayeb tak sendirian. Sebagian warga dari dalam maupun luar desa Ntoke lainnya juga berjualan. Sama, momentumnya hanya ketika musim panen dan proses jual belinya bisa dengan hasil bumi.
Selama sekitar 30 hari itu, Tayeb bisa membawa pulang puluhan karung beras atau jagung. Kemudian, hasilnya sebagian digunakan untuk keperluan sehari-hari, dan sebagian lagi dijual ke warga di sekitar tempat tinggalnya.
Tradisi puluhan tahun
Proses perdagangan atau jual beli menggunakan hasil bumi sebagai pengganti uang atau dikenal sebagai sistem barter di Desa Ntoke sudah berlangsung puluhan tahun, khususnya saat musim panen di desa setempat.
Masa musim panen tak hanya menjadi berkah petani dan warga, tapi juga pedagang dari beberapa desa lain.
Kenyataan itulah yang unik dan sudah menjadi tradisi di sana. Ada yang panen, ada yang berjualan untuk bekal orang memanen. Lalu, proses jual belinya memanfaatkan hasil panen.
Kepala Desa Ntoke Muhidin sering berkeliling dan melihat-lihat warga desa lain berdagang di daerahnya. Tak hanya sekadar lewat dan menyapa, Muhidin yang pernah merantau ke Kota Surabaya dan sempat menjadi seorang wartawan di Bima itu juga mampir.
Meski cuma bertanya kabar dan bagaimana jualannya, namun warga dan pedagang sudah senang karena merasa diperhatikan. Mumu, sapaan akrab Kades Ntoke, selalu mengobral senyum dan menyemangati bagaimanapun kondisinya.
Para petani dan warga Ntoke juga sangat terbantu adanya perdagangan dengan proses jual beli menggunakan hasil panen. Sebab istri-istri mereka tak perlu repot membuat bekal, dan jauh-jauh jika ingin sesuatu, khususnya makanan jenis kue.
Menjadi bekal karena kue bisa lebih praktis dibawa ke sawah, dan tidak mudah rusak, termasuk mudah menyimpannya tanpa khawatir basi.
Bagi para petani, momentum seperti itu menjadi kerinduan sebab hanya setahun sekali. Makanan yang dijual juga tak selalu ada setiap hari, sehingga saat musim panen tengah tahun tiba, memakan makanan pedagang dari desa lain menjadi kegemaran.
Terlebih, transaksinya tidak selalu dengan uang tunai. Cukup hasil panen dari sawahnya, para petani bisa makan martabak manis, kue, maupun makanan lainnya. Menunya sederhana, harganya murah dan yang pasti sudah tentu mengenyangkan.
Kalau perut kenyang, tenaga terisi penuh, maka bekerja pun semangat. Ditambah panen yang melimpah dan hasilnya untuk kepentingan keluarga, menyenangkan anak istri di rumah.(*)