Jakarta (ANTARA) - Jalur Gaza di penghujung tahun 2024 masih belum membaik. Jumlah korban tewas dari hari ke hari semakin di luar nalar.
Tanpa jeda, Israel secara sistematis membumihanguskan Gaza. Dari utara ke selatan dan dari timur ke barat, serbuan sang zionis di Gaza persis seperti melipat serbet, hingga lipatan terkecil yang paling mungkin.
Jalur Gaza, 31 Desember 2024, menjadi saksi hilangnya harkat dan martabat kemanusiaan bagi 2,5 juta penduduk Palestina di wilayah itu.
Hanya dalam tempo 14 bulan setelah aksi pembalasan Israel atas operasi Badai Al Aqsa kelompok perjuangan Palestina Hamas, lebih dari 45.500 warga Gaza tewas, kebanyakan perempuan dan anak-anak, lebih dari 100 ribu lainnya cidera dan ribuan lainnya ditangkap dan disandera dalam sejumlah penjara mematikan Israel.
Jalur Gaza juga menjadi saksi ‘pandemi disabilitas’ buat anak-anak. Lebih dari 4.000 kasus amputasi serta 2.000 cedera otak dan tulang belakang telah tercatat di Gaza sejak awal serangan Israel pada 7 Oktober 2023.
Direktur Kompleks Medis Al-Shifa, Mohammad Abu Salmiya, dalam konferensi pers yang diselenggarakan untuk memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional di Kompleks Medis Nasser, Gaza Selatan, menyatakan lebih dari 2.000 orang dengan cedera tulang belakang dan otak kini terbaring di tempat tidur dan sangat membutuhkan rehabilitasi segera.
Ribuan orang lainnya mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan akibat serangan bom tanpa henti.
Sistem kesehatan di Gaza hancur total, tanpa fasilitas atau layanan medis yang memadai. Satu-satunya rumah sakit rehabilitasi, yaitu Rumah Sakit Hamad, serta pusat pembuatan anggota tubuh buatan di Gaza telah dihancurkan sepenuhnya.
Sejak 5 Oktober 2024, zionis Israel juga terus membombardir Gaza utara. Wilayah itu menjadi sasaran operasi pengeboman besar-besaran tentara Israel yang menargetkan bangunan yang tersisa, terutama di sekitar Rumah Sakit Al-Awda dan Rumah Sakit Kamal Adwan yang mengakibatkan sistem kesehatan di Gaza utara runtuh total.
Sebagai rumah sakit terbesar di Gaza Utara, Rumah Sakit Kamal Adwan—yang dinamai dari anggota Komite Sentral Fatah yang dibunuh pada 1973—sebelumnya melayani lebih dari 400.000 orang sebelum serangan terjadi.
Pada Jumat (27/12), militer Israel mengepung fasilitas medis tersebut, memaksa evakuasi staf kesehatan dan para korban luka secara paksa. Bagian dari rumah sakit itu dibakar selama penggerebekan.
Ismail Al-Thawabta, Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah di Gaza menyatakan setelah lebih dari 80 hari agresi tanpa henti terhadap Gaza utara, jumlah korban telah melampaui 4.800 orang, termasuk orang-orang yang hilang, lebih dari 12.500 terluka, dan lebih dari 1.900 orang ditahan.
Al-Thawabta juga menyoroti agresi Israel yang terus berlangsung itu menargetkan manusia dan infrastruktur, menghancurkan elemen penting kehidupan seperti rumah sakit, sekolah, rumah tinggal, dan fasilitas vital lainnya.
Gaza kehilangan dua tahun ajaran baru
Kementerian Pendidikan Palestina melaporkan bahwa lebih dari 11.825 siswa Palestina telah tewas akibat serangan Israel di Gaza dan Tepi Barat sejak Oktober tahun lalu. Selain itu, 117 staf akademik universitas di Gaza juga tewas.
Sebanyak 406 sekolah di Gaza mengalami kerusakan, termasuk 77 yang hancur total. Di Tepi Barat, 84 sekolah terdampak. Institusi pendidikan tinggi di Gaza mencatat kerusakan signifikan pada 20 universitas, dengan 51 bangunan universitas hancur total dan 57 lainnya rusak sebagian.
Sekitar 88.000 mahasiswa dan 700.000 siswa sekolah di Gaza kehilangan akses ke pendidikan. Sebanyak 11.057 siswa sekolah tewas, 16.897 cedera, 681 mahasiswa tewas, dan 1.468 lainnya mengalami cedera.
Di Tepi Barat, 79 siswa sekolah dan 35 mahasiswa tewas, dengan ratusan cedera dan penahanan. Total 441 guru dan staf sekolah di Gaza meninggal dunia, 2.491 cedera, sementara di Tepi Barat dua staf sekolah tewas, 17 cedera, dan 139 ditahan.
Pembersihan etnis
Tajuk terbaru surat kabar Israel, Haaretz, menyebut penghancuran rumah sakit di Gaza Utara oleh Israel sebagai bagian dari kampanye "pembersihan etnis" terhadap rakyat Palestina.
Tajuk itu mengkritik tindakan militer Israel di Gaza Utara, dengan menyatakan bahwa tujuan utama aksi ini adalah mencegah warga Palestina yang terlantar untuk kembali ke rumah mereka dan secara efektif mengosongkan wilayah tersebut dari penduduk.
Surat kabar itu menyoroti bahwa penghancuran tersebut, khususnya penghancuran rumah sakit, memaksa penduduk untuk pindah ke wilayah selatan demi mendapatkan layanan kesehatan yang vital.
Gaza Utara, salah satu dari lima distrik di Jalur Gaza, memiliki luas wilayah sekitar 61 kilometer persegi. Wilayah ini mencakup beberapa kota utama seperti Beit Lahia, Beit Hanoun, dan Jabalia, serta beberapa kamp pengungsi.
Gaza Utara memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan sering menjadi area konflik karena letaknya yang strategis di perbatasan utara Jalur Gaza.
Haaretz menegaskan bahwa wilayah sebesar itu tidak boleh dibiarkan tanpa fasilitas rumah sakit, terutama di masa perang, dan mengingatkan bahwa Konvensi Jenewa Keempat memberikan perlindungan khusus bagi rumah sakit selama masa konflik.
Tajuk itu juga mengkritik pembenaran yang diberikan militer Israel atas serangannya, dengan menyatakan bahwa keberadaan senjata ringan atau amunisi di sebuah rumah sakit, bahkan jika ada individu bersenjata yang sedang dirawat, tidak dapat dijadikan alasan untuk menyerang fasilitas medis.
Bahkan Tajuk itu menegaskan bahwa wilayah utara Gaza telah hancur, dan militer kini tengah berupaya menyelesaikan penghancuran tersebut. Namun, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum, terutama jika melibatkan rumah sakit.
Militer Israel juga dikecam atas upayanya membenarkan tindakan mereka dengan mempublikasikan foto dua pistol dan sebilah pisau yang diduga ditemukan di rumah sakit.
Tajuk tersebut menegaskan bahwa bukti seperti itu tidak cukup mendukung klaim militer dan tidak dapat membenarkan penghinaan yang dilakukan, seperti memaksa puluhan pasien dan dokter untuk dievakuasi dari rumah sakit hanya dengan mengenakan pakaian dalam mereka.
Pasokan senjata AS
Sejak 7 Oktober 2023, Amerika Serikat (AS) telah menghabiskan lebih dari 22 miliar dolar AS (sekitar Rp356,7 triliun) untuk mendukung operasi militer Israel di Gaza, Lebanon, dan Suriah.
Menurut Stockholm International Peace Research Institute, AS memasok 69 persen kebutuhan senjata Israel pada 2019–2023, meningkat menjadi 78 persen pada akhir 2023.
Hingga Desember 2023, AS mengirimkan 10.000 ton senjata senilai 2,4 miliar dolar AS (sekitar Rp38,9 triliun), yang bertambah menjadi 50.000 ton pada Agustus 2024 melalui ratusan pesawat dan kapal.
Sebagai sekutu utama Israel, AS menyediakan perlengkapan militer canggih, termasuk rudal Iron Dome, bom presisi, helikopter CH-53 dan AH-64 Apache, peluru artileri, serta amunisi bunker-buster.
Sejak 1946, bantuan militer dan ekonomi AS untuk Israel mencapai lebih dari 310 miliar dolar AS (sekitar Rp5 kuadriliun). Perjanjian bantuan militer senilai 38 miliar dolar AS (sekitar Rp616,2 triliun) dari 2016 masih berlaku, dengan alokasi tahunan 3,8 miliar dolar AS (sekitar Rp6,16 triliun).
Pada 2024, paket darurat menambahkan 14,1 miliar dolar AS (sekitar Rp228,6 triliun) dan 2,5 miliar dolar AS (sekitar Rp40,5 triliun) dalam pengiriman senjata.
Hingga 2024, AS telah mengotorisasi lebih dari 100 kesepakatan penjualan senjata untuk Israel, yang sebagian besar mendukung sistem pertahanan rudal dan mengisi kembali stok persenjataan, meskipun ada pengawasan terhadap imbasnya kepada penduduk sipil di Gaza.
Jalur Gaza, sepanjang pendudukan zionis Israel, adalah cerminan dari kegagalan global untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. PBB, sebagai lembaga yang mengamanahkan solusi dua negara untuk Palestina dan Israel, dibuat lelah kendati tidak pasrah.
PBB selalu mengingatkan gencatan senjata segera, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bahkan mengeluarkan surat penangkapan untuk petinggi Israel, namun bencana dan blokade kemanusiaan tanpa jeda mendera Palestina.
Di tengah kehancuran yang terus meluas, dunia dihadapkan pada pilihan: membiarkan Gaza menjadi simbol abadi penderitaan tanpa akhir, atau berdiri bersama prinsip keadilan untuk memastikan generasi mendatang tidak mewarisi kisah kelam ini.
Ketidakadilan yang dibiarkan berlangsung hanya akan menciptakan luka yang lebih dalam, tidak hanya bagi Gaza, tetapi juga bagi nurani umat manusia secara keseluruhan.