Malang (ANTARA) - Wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang merebak ke berbagai daerah di Indonesia bisa menjadi ancaman cukup serius bagi para peternak yang menggantungkan hidup mereka dari budi daya hewan ternak tersebut, jika tidak dilakukan langkah penanganan yang maksimal.
Penyebaran PMK setidaknya kini juga telah menyulitkan para peternak sapi perah di wilayah Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kecamatan Pujon, merupakan salah satu sentra penghasil susu sapi di Jawa Timur.
Salah satu desa di wilayah Kecamatan Pujon yang mayoritas warganya merupakan peternak sapi perah adalah Desa Ngabab. Di desa itu, tercatat ada sebanyak 3.040 ekor sapi perah yang menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat desa.
Dari ribuan ekor sapi tersebut, sebanyak 600 ekor sapi yang mengalami gejala terpapar PMK. Namun, pemerintah desa dan masyarakat sekitar meyakini seluruh ternak sapi perah yang ada di wilayah itu telah terpapar virus family Picornaviridae, genus Apthovirus.
Kecurigaan pemerintah desa dan masyarakat tersebut, diindikasikan dengan merosotnya jumlah produksi susu sapi. Sebelum adanya wabah PMK, produksi susu Desa Ngabab mencapai lima ton per hari, namun saat ini hanya 2,7 ton per hari.
Merosotnya produksi susu tersebut, memberikan dampak langsung terhadap masyarakat Desa Ngabab yang mayoritas merupakan peternak sapi perah. Pendapatan para peternak sapi perah di wilayah tersebut menurun akibat wabah PMK.
Dalam menangani wabah PMK, para peternak sapi di Desa Ngabab masih melakukannya secara mandiri. Salah satu peternak sapi perah di Desa Ngabab, Anang Wahyudi, kepada ANTARA mengatakan bahwa hingga saat ini masih belum ada obat yang ampuh untuk menyembuhkan penyakit mulut dan kuku pada hewan ternak tersebut.
"Karena tidak ada satu rujukan pasti penyakit ini harus diobati dengan obat apa, maka kami berusaha menjaga daya tahan tubuh hewan ternak menggunakan ramuan tradisional seperti empon-empon," kata Anang menjelaskan.
Seluruh sapi miliknya, terserang PMK sejak 3 Juni 2022. Penyebaran virus yang menyebabkan PMK itu sangat cepat dan hanya dalam hitungan jam. Ia memiliki empat ekor sapi perah dan saat ini seluruhnya terjangkit PMK.
Seluruh sapi milik Anang, memiliki gejala yang cukup serius berupa suhu tubuh hewan yang meningkat, produksi air liur sangat tinggi, hewan ternak tidak mau makan, luka pada kuku yang mengakibatkan kuku tersebut lepas dan kesulitan menelan makanan.
Dalam upaya untuk melakukan penanganan secara mandiri pada hewan ternak miliknya, Anang sering mencari informasi dari rekan-rekan sesama peternak. Ada sejumlah obat yang dipergunakan untuk penanganan PMK, termasuk menggunakan eco enzyme.
Eco Enzyme untuk penanganan darurat PMK
Eco enzyme merupakan hasil olahan kulit buah dan sayuran yang dipadukan dengan air dan tetes tebu. Setelah melalui proses fermentasi selama tiga bulan, hasil olahan tersebut menghasilkan eco enzyme atau cairan yang bermanfaat.
Cairan eco enzyme tersebut ternyata juga bisa dipergunakan untuk penanganan darurat wabah PMK. Anang menjelaskan, ia telah menggunakan eco enzyme untuk mengobati sapi-sapi miliknya tersebut pada tahap awal.
"Saya menggunakan eco enzyme. Itu memang membantu untuk penanganan PMK," katanya.
Akan tetapi, penggunaan eco enzyme itu tidak serta merta akan mampu menyembuhkan hewan ternak yang terpapar PMK. Eco enzyme memang memberikan dampak yang cukup baik, namun pada saat hewan ternak terjangkit PMK tahap awal.
Ia mengatakan, penggunaan eco enzyme mampu mengurangi secara signifikan munculnya air liur yang berlebihan pada hewan ternak yang terpapar PMK. Namun, untuk kesembuhan hewan ternak tersebut, juga diperlukan obat-obatan lainnya.
"Eco enzyme untuk penanganan darurat saja, tapi kalau untuk menyembuhkan 100 persen saya kira belum bisa. Tapi memang mengurangi dampak dan membantu penanganan tahap awal," katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Ngabab Amin Afandi mengatakan, memang penggunaan eco enzyme bisa membantu penanganan hewan ternak yang terserang PMK. Sapi-sapi yang masih pada tahap awal terserang PMK, kondisinya membaik setelah diberikan eco enzyme.
"Kondisi hewan ternak memang membaik, itu diberikan kepada sapi yang mulai berliur. Tapi kalau untuk sembuh total, itu tidak hanya dari eco enzyme saja. Memang, ini membantu untuk penanganan darurat," katanya.
Penggunaan eco enzyme di Desa Ngabab untuk penanganan PMK tersebut dilakukan tidak secara sengaja. Kelompok ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desa tersebut, sebelumnya mendapatkan pelatihan untuk pembuatan eco enzyme.
Eco enzyme itu bisa dimanfaatkan menjadi sejumlah keperluan rumah tangga seperti sabun cuci tangan, sabun cuci piring, pembersih dapur, pembersih lantai, pupuk tanaman dan lainnya. Eco Enzyme bisa mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan tersebut.
Namun, pada saat wabah PMK merebak di Desa Ngabab, ada sejumlah informasi yang menyebutkan bahwa cairan tersebut bisa dipergunakan untuk penanganan awal sapi-sapi yang sakit. Eco enzyme diyakini bisa meningkatkan daya tahan tubuh hewan ternak.
"Pembuatan eco enzyme itu bukan untuk PMK awalnya. Tapi akhirnya dimanfaatkan untuk penanganan darurat PMK. Kami memfasilitasi, karena bisa membantu para peternak," ujarnya.
Dana Desa untuk Penanganan PMK
Terlepas dari penggunaan eco enzyme yang diproduksi secara swadaya oleh masyarakat tersebut, Pemerintah Desa Ngabab juga berharap bisa memberikan bantuan obat-obatan dan vitamin untuk hewan ternak dalam penanganan wabah PMK.
Langkah tersebut saat ini masih tersendat meski Desa Ngabab memiliki Alokasi Dana Desa (ADD) lebih dari Rp1 miliar. Namun, penggunaan dana tersebut untuk penanganan PMK masih terganjal aturan yang berlaku.
"Kita punya dana Rp1 miliar lebih, saya ingin mengambil tindakan untuk penanganan PMK, namun regulasinya tidak ada," katanya.
Seharusnya, lanjut Amin, anggaran untuk penanganan PMK bisa diambil dari alokasi Belanja Tidak terduga (BTT). Akan tetapi, ia terpaksa menggunakan alokasi dana ketahanan pangan sebesar Rp250 juta untuk penanganan PMK di wilayah tersebut.
"Ini wabah merupakan kondisi darurat. Jika menunggu regulasi, peternak yang ada akan semakin sulit. Saya menangani pandemi COVID-19 tidak sesulit ini," katanya.
Pemerintah Desa Ngabab sangat berharap pemerintah pusat bisa memberikan keleluasaan kepada pihak desa untuk menggunakan Dana Desa (DD) sebagai sumber pendanaan untuk menangani wabah PMK.
Ia menyatakan akan mengambil risiko jika nantinya diminta mempertanggungjawabkan penggunaan dana ketahanan pangan untuk penanganan PMK. Namun, ia memastikan proses penggunaan dana ketahanan pangan itu akan transparan.
Sebelum dana ketahanan pangan tersebut dipergunakan untuk penanganan PMK, Pemerintah Desa Ngabab akan melakukan musyawarah desa dan menjelaskan siapa-siapa saja yang menjadi penerima manfaat dari alokasi pendanaan tersebut.
"Kalau kita tidak berani mengambil langkah, kapan kami akan bergerak untuk masyarakat. Kalau bagi saya memang itu risiko. Tapi kalau kita tidak mau mengambil risiko, jangan menjadi pemimpin," katanya.