Pamekasan (ANTARA) - Para relawan yang tergabung dalam Forum Relawan Penanggulangan Bencana (FRPB) Pamekasan, Jawa Timur, melakukan penyemprotan disinfektan ke kandang sapi milik warga, guna mencegah penyebaran wabah penyakit mulut dan kuku (PMK).
"Ini kami lakukan sebagai bentuk kepedulian, sekaligus untuk mencegah penyebaran wabah penyakit mulut dan kuku, mengingat di sejumlah daerah jenis penyakit ini sudah banyak menyerang sapi peliharaan warga," kata Ketua FRPB Pamekasan Budi Cahyono di Pamekasan, Senin.
Penyemprotan disinfektan ke kandang milik warga oleh aktivis relawan penanggulangan bencana binaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkab Pamekasan tersebut, karena jenis penyakit ini mudah menyebar. Antisipasi perlu dilakukan, di antaranya dengan menyemprotkan disinfektan ke kandang hewan.
Para relawan juga menjelaskan kepada warga tentang jenis penyakit tersebut, seperti ciri-ciri fisik dan cara menanggulangi.
Wabah ini, kata Budi, menyebabkan penyakit yang menular dan menyerang semua hewan berkuku belah/genap, seperti sapi, kerbau, domba, kambing, rusa, unta, dan termasuk hewan liar, seperti gajah, antelope, bison, menjangan, dan jerapah.
Ia menjelaskan PMK jenis penyakit yang disebabkan oleh virus tipe A dari keluarga picornaviridae, genus apthovirus yakni aphtaee epizootecae.
Masa inkubasi antara 1-14 hari, yakni masa sejak hewan tertular penyakit hingga timbul gejala penyakit virus ini dapat bertahan lama di lingkungan dan bertahan hidup pada tulang, kelenjar, susu, serta produk susu.
Angka kesakitan bisa mencapai 100 persen dan angka kematian tinggi ada pada hewan muda atau anak-anak.
Selain itu, tingkat penularan PMK juga cukup tinggi, akan tetapi tingkat kematian 1-5 persen.
"Sehingga jika ditemukan ternak terlihat lemah, lesu, kaki pincang, air liur berlebihan, tidak mau makan, dan mulut melepuh segera hubungi petugas," katanya.
Budi yang juga koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Pemkab Pamekasan ini menjelaskan virus PMK ditularkan ke hewan melalui beberapa cara, di antaranya kontak langsung antara hewan yang tertular dengan hewan rentan melalui droplet, leleran hidung, serpihan kulit.
Sisa makanan/sampah yang terkontaminasi produk hewan, seperti daging dan tulang dari hewan tertular, juga bisa menjadi media penularan penyakit.
Demikian juga, sambung dia, dengan kontak tidak langsung melalui vektor hidup yakni terbawa oleh manusia.
Bisa juga, sambung dia, dengan cara kontak tidak langsung melalui bukan vektor hidup yang terbawa mobil angkutan, peralatan, alas kandang dan lain sebagainya.
Virus ini, sambung Budi, juga tersebar melalui udara, angin, daerah beriklim khusus yang mencapai 60 km di darat dan 300 km di laut.
Ia menjelaskan tentang gejala klinis hewan yang terserang PMK pada sapi, di antaranya demam hingga mencapai 41 derajat Celsius, dan sapi menggigil, nafsu makan menurun, dan pada sapi perah mengalami penurunan produksi susu yang drastis selama 2-3 hari.
Gejala lainnya mengalami pembengkakan kelenjar submandibular, hewan lebih sering berbaring dan mengalami luka pada kuku, bahkan ada mengelupas.
Sapi juga sering menggeretkan gigi, menggosokkan mulut, leleran mulut, suka sering menendangkan kaki.
"Efek ini disebabkan karena mengalami lepuh pada membran mukosa hidung dan bukal, lidah, nostril, moncong, bibir, puting, ambing, kelenjar susu, ujung kuku, dan sela antarkuku," katanya.
Ia menjelaskan para relawan telah memahami materi ini, karena sebelum melakukan sosialisasi dan penyemprotan kandang warga, mereka terlebih dahulu dibekali dengan wawasan dan materi tentang jenis penyakit ini oleh tim dokter hewan Pemkab Pamekasan.
"Dan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah penularan adalah melakukan desinfeksi kandang dan peralatan secara berkala setelah selesai digunakan, serta melakukan desinfeksi lingkungan sekitar kandang secara berkala. Karena itu, kita gerakkan anggota untuk membantu warga dengan melakukan penyemprotan disinfektan di kandang warga," katanya.
Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Peternakan (DKP3) Pemkab Pamekasan, populasi sapi di kabupaten ini tercatat sebanyak 190.635 ekor pada 2016 dan pada 2019 meningkat menjadi 1.004.226 ekor. Di tiga kabupaten lain, populasi sapi masih di bawah 500 ribu ekor.
Menurut Kepala DKP3 Pemkab Pamekasan Ajib Abdullah, populasi sapi di Kabupaten Pamekasan banyak berkat program "Satu Saka/Satu Tahun Satu Kelahiran" yang diterapkan sejak 2016.