Taipei (ANTARA) - Penguncian wilayah (lockdown) di China untuk mengendalikan penyebaran COVID-19 "kejam" dan Taiwan tidak akan mengikutinya, kata pemimpin pulau itu Su Tseng-chang, Minggu.
Setelah mengendalikan pandemi dengan kontrol perbatasan dan karantina yang ketat, Taiwan telah menghadapi lonjakan kasus lokal COVID-19 sejak awal tahun ini hingga mencatat sekitar 75.000 kasus infeksi virus corona varian Omicron.
Namun, lebih dari 99 persen dari kasus COVID-19 itu bergejala ringan atau tidak ada gejala. Dengan angka kematian yang kecil dan tingkat vaksinasi yang tinggi sejauh ini, Taiwan mulai melonggarkan pembatasan.
Otoritas setempat secara bertahap membuka kembali pulau berpenduduk 23 juta orang itu bagi dunia luar.
Namun, China sebaliknya telah memberlakukan lockdown ketat di Shanghai dan meningkatkan kendali COVID-19 di ibu kota Beijing.
Dalam kunjungan ke Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan, Su mengatakan tindakan pengendalian pandemi Taiwan telah "dipuji oleh dunia".
"Kami tidak akan mengunci negara dan kota-kota dengan cara sekejam China," kata Su, seraya menambahkan bahwa metode Taiwan dilakukan "bertahap".
"Kami punya rencana, dan ada ritme untuk itu," ujarnya.
China mengklaim Taiwan yang diperintah secara demokratis sebagai bagian dari wilayahnya, dan kedua pihak jarang melewatkan kesempatan untuk saling bertikai selama pandemi.
Pekan lalu, Kantor China untuk Urusan Taiwan mengatakan bahwa cara baru penanganan pandemi Taiwan akan menyebabkan banyak kematian.
Kehidupan sebagian besar berjalan seperti biasa di Taiwan, meskipun ada gangguan di beberapa sekolah, dan otoritas di sana sedang mengupayakan pelonggaran aturan karantina lebih lanjut.
Semua pendatang ke Taiwan harus diisolasi selama 10 hari dan aturan semacam itu telah dihapus di sebagian besar Asia.
Sumber: Reuters