Surabaya (ANTARA) - Direktur Utama Perhutani Wahyu Kuncoro menyikapi penerapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) dan perhutanan sosial di Jawa menyusul pengesahan UU Cipta Kerja dengan turunannya PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
"Di tengah merayakan hari ulang tahun ke-61 Perhutani, kita punya isu strategis, tapi bukan untuk dilawan, namun harus dilakukan," kata Wahyu dalam keterangan pers, Kamis.
Ia mengatakan pemerintah akan merilis dua peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yakni tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dan Perhutanan Sosial (PS) di Pulau Jawa.
Menurutnya yang perlu disuarakan ke pemerintah bahwa Perhutani ini harus menjadi perusahaan yang berkelanjutan.
"Ini kebijakannya pemerintah dari UU Cipta Kerja yang diturunkan dalam PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa Kementerian BUMN sudah meminta kepada pemerintah jika menetapkan KHDPK, agar ada tiga hal yang perlu diperhatikan, pertama wilayah hutan yang nantinya ditinggal di Perum Perhutani adalah kawasan yang produktif.
"Kedua ketika pemerintah menetapkan KHDPK harus memperhatikan aset Perhutani," ujarnya.
Mengenai tanaman yang sudah terlanjur ditanam di lahan hutan yang ditetapkan menjadi KHDPK, Wahyu menjelaskan bahwa Perhutani masih diberi kesempatan untuk mengeksploitasi produksi kayu yang sudah masak tebang sampai lima tahun ke depan.
"Sementara untuk tanaman yang masuk di KHDPK, tapi masak tebangnya masih lama, ini nanti bisa dikerjasamakan antara Perhutani dengan pengelola KHDPK, jadi dari sisi aset sebenarnya tidak banyak dirugikan," katanya.
Ia mengatakan begitu pula dengan aset berupa tanah dan bangunan yang nantinya berada di KHDPK, itu sama nanti juga bisa dikerjasamakan dengan pengelola KHDPK atau dengan masyarakat yang terlibat.
"Ini relatif tidak merugikan, jadi saya pesan kepada teman teman memang tanaman ini ditanam oleh para pendahulu kita, sehingga rasa memilikinya sangat tinggi, sementara kita ini bukan yang memiliki lahan," kata Wahyu.
Wahyu mengatakan bahwa hutan itu milik pemerintah, oleh pemerintah melalui PP 72 Tahun 2010 dilimpahkan ke Perhutani untuk mengelola.
"Jadi, kita ini pengelola hutan bukan pemilik, beda dengan PTPN mereka memiliki sertifikat namanya HGU (hak guna usaha)," ujarnya.
Ia mengatakan, tentang SDM, karena nyaris separuh lahan hutan Perhutani seluas 2,4 juta hektare, nantinya akan direduksi sebagian di kelola Perhutani dan sebagian akan dikelola KHDPK.
"Jadi, SDM di lapangan ada sekitar 14 ribuan yang akan terdampak nanti, dan saya pastikan tidak ada PHK," ujarnya.
Untuk itu, disosialisasikan rencana peraturan baru guna memberikan pemahaman dan ketenangan bekerja bagi seluruh jajaran di segenap satuan kerja sehingga tetap fokus pada pencapaian RKAP 2022 dan kontrak manajemennya. (*)