Kediri (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Kediri, Jawa Timur, mendorong milenial memanfaatkan program smart farming, untuk mendukung pengelolaan kawasan agropolitan bagi kelompok petani milenial.
Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana, Senin mengemukakan sekitar 80 persen masyarakat di Kabupaten Kediri bertani. Terdapat 30 persen lahan di Kabupaten Kediri digunakan untuk sektor pertanian, sehingga program smart farming tentunya sangat tepat, terlebih lagi bagi milenial.
"Program smart farming ini di tahun 2022-2023 menjadi program yang sangat seksi untuk membangkitkan semangat teman-teman petani milenial," katanya di Kediri..
Pihaknya mengungkapkan, sengaja menggelorakan program smart farming untuk mendukung pengelolaan kawasan agropolitan bagi kelompok petani milenial. Penggunaan teknologi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian di Kabupaten Kediri.
Smart farming merupakan penggunaan teknologi untuk pengumpulan informasi dari lapangan menggunakan alat yang ditanam di lahan pertanian dan kemudian dikoneksikan menggunakan perangkat seperti telepon pintar.
Program smart farming ini diawali di lahan pertanian padi organik Kecamatan Purwosari, Kabupaten Kediri.
Pemerintah Kabupaten Kediri bekerjasama dengan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri terkait dengan program smart farming itu.
Untuk mendukung program itu, juga dilakukan pendampingan kepada para petani milenial termasuk mendirikan laboratorium produksi pembuatan mikro perombak alami. Laboratorium tersebut berlokasi di Desa Ketawang, Kecamatan Purwoasri dan telah memroduksi microbachter alfaafa (MA-11).
Sementara itu, Staf ahli Bank Indonesia sektor riil Nugroho Widiasmadi menyampaikan, salah satu usaha yang dilakukan Bank Indonesia untuk pengendalian inflasi melalui sektor riil yakni melakukan pelatihan standar pertanian total organik.
Kegiatan itu dilakukan dengan harapan bisa menjadikan pertanian ke depannya total mandiri.
Teknologi yang diterapkan, lanjut Nugroho, memiliki lima tujuan, pertama menekan biaya 70-90 persen. Kedua, meningkatkan hasil panen 200-300 persen. Ketiga, membangun pertanian berkelanjutan dan yang semakin baik. Keempat, membangun multiplayer effect, dan kelima adalah menghadapi global warming.
"Hari ini menghadapi perubahan iklim global, satu-satunya cara kita menghadapinya dengan bertani organik. Karena dinding sel lebih tebal 2-3 kali (dibandingkan) dengan bertani konvensional atau menggunakan pupuk kimia," kata Nugroho.
Nugroho yang juga merupakan penemu MA -11 dan digital ecofarming itu mengungkapkan, laboratorium itu menjadi dasar mesin perombak biomassa yang menjadikan limbah menjadi superbokhasi, jerami menjadi superfit.
Selain mendidik cara memroduksi mikro perombak alami MA-11, pelatihan dilakukan sekaligus mendidik petani bagaimana cara mengontrol standar.
"Kami punya lima standar yaitu standar limbah mentah, standar pupuk yang sudah diolah, standar kesehatan tanah, standar kesuburan massa vegetatif, dan standar massa generatif," kata dia.
Ia juga mengungkapkan, limbah mentah harus di angka 2000 uS/cm (micro siemens per centimeter), limbah cair di angka 10000 uS/cm. Limbah yang sudah diolah atau superbokhasi harus di angka 4000 uS/cm, dan limbah cair atau biofarm harus di angka 20.000 uS/cm.
Kemudian, standar kesehatan tanah harus di angka 100 juta mikroba/ gram tanah. Standar masa vegetatif saat tanam tanah harus di angka 1000 uS/cm. Sedang, saat tanaman bunting (generatif) harus dijaga di angka 2000 uS/cm.
"Standar itu dikawal supaya terpenuhi semua tidak lewat mata tapi lewat digital. Digital angka tadi dikontrol oleh sensor yang ditanam di tanah," kata dia.
Ia juga menambahkan, dari alat sensor itu, informasi dikirimkan melalui internet dan ditangkap melalui telepon pintar atau komputer jinjing. Dengan begitu, informasi mengenai kesuburan tanah dapat dikontrol dari manapun.
"Sehingga bila standar yang ditentukan tidak terpenuhi dapat segera dilakukan langkah untuk menaikkan sebagai antisipasi," kata Nugroho.