Surabaya (ANTARA) - Pengamat bidang energi yang juga Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mukhtasor mengkhawatirkan Rancangan undang-undang Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak mendorong kemandirian energi nasional. Bahkan, bisa berpeluang menghasilkan berbagai beban dan masalah bagi negara.
RUU EBT yang kini dibahas di DPR, kata dia, juga dikhawatirkan berpeluang mengulangi kondisi seperti UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
“UU Migas melanggar konstitusi sehingga dibatalkan. Dampaknya, ada krisis regulasi migas sampai sekarang. Jangan sampai RUU EBT mengalami hal serupa,” ujar Mukhtasor, dalam siaran persnya usai webinar Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional, Rabu.
Pembuatan setiap UU, kata dia, seharusnya dilandasi semangat meningkatkan kedaulatan dan kemandirian nasional. Sayangnya, RUU EBT mencerminkan semangat mendukung impor dan memfasilitasi oligarki.
“Detil sekali untuk fasilitasi kepentingan,” kata dia.
Ia melihat antara lain pasal 40 pada RUU EBT yang mewajibkan PLN membeli listrik EBT dari pembangkit swasta. Kewajiban itu tidak menimbang kebutuhan PLN dan listrik nasional. Hal itu bisa membebani PLN dan di sisi lain menjamin investasi para pelaku EBT.
Mukthasor juga menyoroti pasal 51 yang mengatur soal feed-in tariff. Ada beberapa masalah dari aturan itu. Pertama, aturan itu bisa membengkakkan subsidi.
“Aturan itu mengasumsikan negara punya uang untuk menutup selisih produksi listrik PLN dan EBT. Kalau memang uangnya ada, kenapa tidak dipakai untuk menguatkan PLN atau industri nasional?” ujarnya.
Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan tidak ada feed-in tariff. Jika RUU EBT tetap memasukkan klausul itu, maka RUU itu tersebut berpotensi melanggar rekomendasi KPK dan hal itu berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Ketiga, klausul itu mirip ketentuan Take of Pay (ToP) yang kini diberlakukan untuk IPP swasta. Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung.
Di RUU EBT, kewajiban membeli listrik dari IPP EBT tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak. Padahal, sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP paling terasa paling tidak sejak 2019.
Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35 persen dari idealnya 30 persen.
Keempat, RUU EBT tidak menunjukkan keberpihakan jelas pada pelaku EBT skala kecil dan menengah yang lazimnya berasal dari dalam negeri. RUU itu malah condong mendorong impor.
Di luar negeri, memang ada aturan feed-in tariff. Akan tetapi, aturan itu diiringi dengan dorongan membangun industri nasional pada sektor EBT. Di RUU EBT, alih-alih mendorong industri nasional, malah condong memfasilitasi asing.
“Penetapan tarif saja dalam dollar, bukan rupiah,” kata Mukhtasor.
Perintis pembangkit berbasis komunitas, Tri Mumpuni, menyebutkan "potensi Indonesia (untuk membuat panel surya) amat besar,” kata dia.
Indonesia dinilai begitu tergantung pada impor solar panel. Sementara di negara lain, upaya pengembangan panel surya terus didukung. “Kita hanya berpikir beli, impor,” kata dia.
Ia juga mengatakan, kedaulatan energi hanya bisa dicapai jika semua potensi lokal dimanfaatkan. Pembangkit mikro yang dikelola komunitas hingga ke pembangkit besar harus dimanfaatkan. Pembangkit mikro bisa dibuat dan digunakan oleh komunitas.(*)
Pengamat khawatirkan RUU EBT tidak dorong kemandirian energi
Rabu, 4 Agustus 2021 8:09 WIB
Pembuatan setiap UU, kata dia, seharusnya dilandasi semangat meningkatkan kedaulatan dan kemandirian nasional. Sayangnya, RUU EBT mencerminkan semangat mendukung impor dan memfasilitasi oligarki