Jakarta (ANTARA) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih menemukan kelangkaan obat terapi COVID-19, oksigen serta tabung oksigen di sejumlah daerah di Indonesia.
"Kami menemukan barang-barang tersebut langka di pasaran sehingga harganya melambung. Namun, sepanjang perjalanan, kami terus melakukan monitoring ternyata masih ditemukan hal-hal seperti di awal, masih langka, harga mahal," kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat.
KPPU telah meminta keterangan sejumlah pihak termasuk regulator, produsen obat, produsen gas (terkait oksigen), distributor, rumah sakit dan apotek untuk memantau harga dan pasokan obat terapi COVID-19 sejak pemberlakuan PPKM Darurat awal Juli lalu.
Berdasarkan hasil pemantauan, ditemukan bahwa masih terdapat obat yang dijual di atas HET (Harga Eceran Tertinggi), kelangkaan pasokan obat dan oksigen terutama di wilayah Sumatera Bagian Selatan, Jawa dan Bali hingga ke sejumlah wilayah Indonesia Timur.
Direktur Ekonomi KPPU Zulfirmansyah dalam kesempatan yang sama, menjelaskan kelangkaan obat terapi COVID-19 di wilayah Kalimantan, Sulawesi serta kawasan Indonesia timur disebabkan akibat distribusi yang terhambat atau karena jauhnya dari sentra produksi gas (oksigen).
Ia juga mencatat ada ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan (supply dan demand) terutama di daerah dengan kasus aktif yang tinggi seperti wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Kelangkaan obat di apotek juga diduga diakibatkan Pedagang Besar Farmasi (PBF) lebih mengutamakan pasokan ke rumah sakit karena rumah sakit banyak menangani gejala berat. Tapi ini membuat yang isoman tidak bisa mengakses rumah sakit dan klinik yang juga butuh obat," katanya.
Di sisi lain, Zulfirmansyah juga menilai tingginya ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor membuat produksi obat dalam negeri terhambat.
"Ada obat yang diproduksi lokal tapi bahan pokoknya impor, lebih dari 90 persen. Bahkan ada jenis obat yang impor. Adanya larangan atau penghentian ekspor dari negara asal semakin memperlambat akselerasi pembuatan obat di dalam negeri atau importasi obat jadi," pungkas Zulfirmansyah.