Jakarta (ANTARA) - Dunia usaha di sektor industri tembakau meminta pemerintah tidak kembali menaikkan farif cukai pada tahun 2022, karena hanya akan sangat memberatkan produsen dan petani tembakau di tengah suasana pandemi COVID-19.
“Kami berharap tidak ada lagi wacana menaikkan cukai hasil tembakau. Justru, kami menginginkan adanya kepastian kebijakan dari pemerintah yang bisa mengurangi beban pelaku industri hasil tembakau (IHT),” kata Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar, daam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, secara agregat di segala segmen sepanjang 2020, produksi IHT mengalami kontraksi produksi sebesar 9,7 persen. Adapun perkembangan hingga Mei 2021 tren penurunan produksi masih terjadi di kisaran 4,3 persen dari tahun 2020.
Sulami mengatakan, tren negatif masih terus berlanjut karena pandemi terbukti menurunkan daya beli masyarakat, sehingga bukan tidak mungkin, penurunan produksi tahun 2021 lebih tajam dari tahun 2020, dampak pengendalian pandemi belum ada perbaikan signifikan.
“Jumlah masyarakat yang terpapar COVID-19 makin meningkat, akibatnya produsen mengurangi produksi karena penurunan permintaan konsumen, petani kekurangan serapan permintaan dari sektor hilir. Produsen bisa tetap memproduksi seperti saat ini saja sudah syukur,” tutur Sulami.
Baru-baru ini, pelaku IHT kembali dibuat cemas dengan maraknya isu soal anjuran agar tarif cukai kembali dinaikkan, dan penyederhanaan struktur tarif cukai.
Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Parbrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyatakan, kenaikan cukai dan simplifikasi adalah faktor pendorong besar tekanan industri, tercermin dari produksi yang terus menurun.
Simplifikasi tarif cukai akan sangat dirasakan oleh produsen rokok golongan II dan III, atau yang produksinya belum mencapai tiga miliar batang.
Menurut Henry, jika kenaikan tarif cukai kembali diberlakukan maka dampaknya adalah tutupnya produsen tembakau, perusahaan rokok golongan II da III berguguran, yang bisa mengakibatkan rokok ilegal makin meningkat.
“Ini akan terus mempengaruhi serapan bahan baku dari petani, mengganggu tenaga kerja, mengganggu pendapatan dari para pengecer atau penjual rokok, dan pendapatan negara dalam hal cukai dan perpajakan,” tegasnya.
Data survei menyebut, pada tahun 2019 rokok ilegal ada di kisaran 3 persen, dan naik 4,8 persen di tahun 2020. Pola ini sangat mungkin terulang bahkan meningkat, ketika tarif cukai kembali naik 12,5 persen tahun 2021.
Secara terpisah, Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan cukai hasil tembakau jadi salah satu pilar penerimaan negara yang penting. Tapi, menaikkan tarif cukai yang dilakukan dengan orientasi penerimaan negara semata bisa membuat kontraksi industri tembakau secara keseluruhan.
“Untuk itu, adanya roadmap IHT yang bisa jadi solusi. Roadmap yang komprehensif dibutuhkan sesuai dengan situasi dan melibatkan seluruh stakeholder dalam negeri,” katanya. (*)