Pamekasan (ANTARA) - Kabupaten Pamekasan termasuk salah satu kabupaten di Pulau Madura yang masuk kategori rawan bencana alam, bahkan kabupaten berpenduduk 850.057 jiwa ini, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana berada pada peringkat ke-115 dari total 496 kabupaten/kota di Indonesia yang masuk kategori berisiko bencana tinggi.
Bencana berupa banjir, tanah longsor, angin puting beliung, abrasi dan kekeringan merupakan jenis bencana yang sering terjadi di Kabupaten Pamekasan dengan sebaran hampir di semua wilayah di 13 kecamatan se-Kabupaten Pamekasan.
Jenis bencana alam yang sering terjadi dalam dua bulan terakhir ini, berupa angin kencang dan angin puting beliung, banjir, dan yang terakhir bencana tanah longsor.
Tebing dengan ketinggian sekitar 7 meter longsor dan menimpa dua ruang asrama putri yang dihuni tujuh orang di Pondok Pesantren An-Nidhomiyah, Dusun Jepun, Desa Bindang, Kecamatan Pasean, sekitar 45 kilometer ke arah utara Kota Pamekasan, Rabu (24/2).
Musibah yang terjadi sekitar pukul 02.00 WIB itu telah menyebabkan lima orang santri meninggal dunia, dan seorang santri patah tulang, serta seorang lainnya luka ringan.
Kelima orang santri korban meninggal dunia dalam musibah tebing longsor itu, semuanya berasal dari luar Kabupaten Pamekasan, yakni dari Kabupaten Jember sebanyak tiga orang, Sampang satu orang dan dari Kabupaten Sumenep sebanyak satu orang.
Masing-masing bernama Santi (14) warga Desa Dukohmencek, Kecamatan Sukorambi, Nur Azizah (13) dari desa yang sama, serta Siti Komariyah (17) asal Desa Palampang, Kecematan Sumber Jambi, Jember Jawa Timur.
Korban meninggal dunia dari Kabupaten Sampang bernama Robiatul Adawiyah (14) asal Desa Poreh, Kecamatan Karangpenang, sedangkan yang dari Kabupaten Sumenep bernama Nabila (12), asal Desa Sempong Barat, Kecamatan Pasongsongan.
Musibah ini membawa luka yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga dan orang tua korban, akan tetapi juga bagi Pengasuh Pesantren KH Muhedi, dan para santri lainnya yang selamat.
Tak ada yang menyangka, tebing di dekat asrama putri Pondok Pesantren An-Nidhomiyah itu akan longsor, sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, di sekitar pesantren tak pernah terjadi bencana tanah longsor, kendatipun hujan lebih deras dibanding saat musibah itu terjadi.
Pengasuh pondok pesantren itu, KH Muhedi menuturkan, saat tebing itu longsor, semua penghuni asrama sedang tertidur lelap. Tiba-tiba terdengar suara reruntuhan tanah dan pohon tumbang dan mengejutkan semua penghuni pesantren.
Warga sekitar pesantren dan santri lainnya langsung berhamburan dan segera mengevakuasi reruntuhan tanah yang menimbun dua ruang asrama putri yang dihuni tujuh orang itu. Lima diantara tujuh orang penghuni ditemukan dengan kondisi patah tulang satu orang, satu orang selamat dan tiga lainnya telah meninggal dunia. Sedangkan 2 santri lainnya berhasil dievakuasi dari reruntuhan longsor itu, lima jam kemudian menghembuskan nafas terakhir.
Keprihatinan
Bencana alam yang menyebabkan lima orang santri meninggal dunia ini telah memantik keprihatinan, dan menjadi duka yang mendalam bagi semua pihak.
Sesaat setelah kejadian, Bupati Pamekasan Baddrut Tamam langsung meninjau lokasi bencana bersama Forkopimda Pamekasan.
Baginya, musibah bencana tebing longsor itu bukan hanya menjadi musibah para santri, pengasuh dan orang tua, akan tetapi menjadi musibah pemerintah kabupaten dan semua masyarakat Pamekasan.
Upaya membesarkan hati pengasuh, pengurus dan santri lainnya terus dilakukan, termasuk oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang meninjau secara langsung ke pesantren itu, sehari setelah kejadian.
Gubernur malah meyakini, santri yang meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan tebing longsor itu, meninggal dunia secara syahid, karena sedang menimba ilmu.
Gubernur juga memberikan bantuan berupa uang tunai Rp50 juta untuk keluarga lima santri yang meninggal dunia dan Rp5 juta untuk korban luka-luka itu, yang diserahkan langsung kepada keluarga korban di pondok pesantren itu dan disaksikan oleh pengasuh pesantren.
Selain menyerahkan bantuan berupa uang tunai, gubernur juga menyerahkan bantuan 100 paket sembako, 50 lembar matras, 50 paket sandang dan 50 lembar selimut.
Gubernur datang ke lokasi longsor di Desa Bindang, Kecamatan Pasean ini bersama Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta dan Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Suharyanto, Kepala Dinas Sosial Pemprov Jatim Alwi, termasuk Bupati Pamekasan Baddrut Tamam yang juga kembali di hari ke lokasi longsor itu bersama Forkopimda Pemkab Pamekasan.
Tak banyak yang disampaikan orang nomor satu di lingkungan Pemprov Jatim itu. Dia menekankan agar proses pemulihan setelah bencana dipercepat, sehingga aktivitas pondok pesantren kembali pulih seperti sedia kala, dan kegiatan belajar mengajar kembali normal.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) diminta untuk melakukan kajian, mengupayakan pencegahan dan antisipasi dini jangka panjang, sehingga bencana seperti itu bisa ditekan, dan diantisipasi dengan mengurangi risiko.
Pengawas Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) Buci Cahyono mengatakan bencana alam yang terjadi di berbagai belahan bumi di dunia ini, memang tidak bisa dicegah. Namun, bukan berarti risiko bencana tak bisa ditekan.
Caranya, dengan memahami empat unsur utama sistem peringatan dini, yaitu pengetahuan tentang risiko, teknologi pemantauan dan layanan peringatan, diseminasi dan komunikasi, hingga kemampuan merespons bencana yang terjadi.
Butuh Early Warning System
Menurut Budi, di daerah yang masuk kategori rawan bencana tanah seperti Pamekasan, membutuhkan alat pendeteksi dini atau Early Warning System (EWS), yakni sistem yang dirancang untuk memantau, mendeteksi, dan memberikan peringatan dini bahaya longsor.
Sistem ini dilengkapi dengan teknikal sensor terdiri dari extensometer (alat deteksi pergerakan tanah secara lateral, vertikal atau relasional), tilt meter atau alat deteksi perubahan posisi kemiringan permukaan tanah/batuan pada lereng, dan ultra-sonic water level atau alat deteksi perubahan permukaan air pada alur sungai yang terintegrasi dan terhubung dalam satu server dengan memori digital.
Alat ini memiliki beberapa keunggulan. Diantaranya mudah dipasang dan dipindahkan, dilengkapi penyangga yang fleksibel, tidak menggunakan suplai listrik dari PLN, akan tetapi bisa menggunakan tenaga surya, dan mudah diinstal dengan koneksi nirkabel.
Melalui alat ini, maka pergerakan struktur tanah, bisa terdeteksi lebih awal melalui sensor yang dikirim dari alat yang dipasang tersebut.
Secara garis besar komponen EWS terdiri dari, sensor yang berfungsi mengumpulkan dan mengirimkan data lapangan, lalu server dan sistem daring untuk memantau data, dan sistem peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat saat keadaan berpotensi bencana.
Seluruh komponen bekerja secara otomatis melalui sistem telemetri yang memiliki sumber tenaga mandiri atau panel surya dan bersifat nirkabel, sehingga sistem peringatan dini bencana dapat bekerja secara efektif, terutama daerah-daerah berpotensi bencana yang sering kali terletak di daerah terpencil.
Salah satu perguruan tinggi yang telah menciptakan sistem pendeteksi dini tanah longsor adalah Universitas Gadjah Mada, sehingga alat itu juga dikenal dengan sebutan "Gama-EWS".
Bahkan, alat itu telah berhasil diimplementasikan di 30 provinsi, 110 kabupaten/kota dan lebih dari 200 desa di seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Myanmar.
Alat itu terbukti mampu menyelamatkan jiwa manusia dari bencana, seperti bencana di Banjarnegara (2007), Aceh Besar (2015), Donggala (2016), Lombok Barat (2016), Kerinci (2017), Purworejo (2017), Gunungkidul (2017), Sintang (2017), Jambi (2017) dan beberapa lokasi lainnya.
"Pamekasan, karena bencana tanah longsor sering terjadi, dan banyak daerah kecamatan berbukit seperti di Desa Bidang, perlu juga menggunakan alat ini," katanya.
Selama musim hujan ini, bencana berupa tanah longsor di Kabupaten Pamekasan telah terjadi hampir 10 kejadian yang tersebar di sejumlah kecamatan, antara lain di Kecamatan Pakong, Kadur, Waru dan yang terakhir, Kecamatan Pasean.
Hanya saja bencana tanah longsor yang terjadi di kecamatan lainnya tidak ada yang menimbulkan korban jiwa, karena lokasinya jauh dari perkampungan penduduk, berbeda dengan bencana longsor di Desa Bindang, Kecamatan Pasean, karena lokasinya sangat dekat dengan perkampungan warga dan pondok pesantren.*