New York (ANTARA) - Dolar AS menguat terhadap mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), terseret kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS yang bertahan di dekat level tertinggi satu tahun, sementara mata uang berisiko seperti dolar Aussie melemah.
Imbal hasil (yields) melonjak seiring percepatan laju vaksinasi secara global dan optimisme atas peningkatan pertumbuhan global mendukung taruhan bahwa inflasi akan meningkat. Hal itu juga menyebabkan investor menilai pengetatan moneter lebih awal daripada yang diisyaratkan oleh Federal Reserve dan bank-bank sentral lainnya.
Pergerakan dolar adalah "fungsi dari apa yang terjadi di sisi imbal hasil," kata Jeremy Stretch, kepala strategi valas G10 di CIBC World Markets. Imbal hasil 10-tahun sempat naik di atas hasil dividen S&P 500 pada Kamis (25/2/2021), ia mencatat, menunjukkan "ketidakpastian yang sangat besar."
Indeks dolar naik 0,59 persen menjadi 90,847, level tertinggi dalam seminggu.
Dolar menguat terhadap yen, menyentuh 106,69 untuk pertama kalinya sejak September.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun melonjak di atas 1,6 persen pada Kamis (25/2/2021) untuk pertama kalinya dalam setahun setelah lelang surat utang tujuh tahun yang lemah. Imbal hasil terakhir di 1,45 persen.
Kenaikan imbal hasil AS telah dipercepat bulan ini karena pejabat Fed menahan diri untuk tidak mengungkapkan kekhawatiran tentang kenaikan imbal hasil.
"The Fed belum benar-benar mengisyaratkan bahwa itu membuat mereka tidak nyaman, jadi pasar obligasi akan mendorongnya," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York. "Itu benar-benar menentukan pergerakan dolar ini."
Mata uang berisiko mundur. Aussie jatuh 1,99 persen menjadi 0,7713 dolar AS, setelah melampaui 0,80 dolar AS pada Kamis untuk pertama kalinya sejak Februari 2018.
Marshall Gittler, kepala penelitian di BDSwiss, mengatakan dolar Australia berkinerja buruk meskipun pasar menandakan pertumbuhan yang lebih tinggi, kemungkinan karena kebijakan pengendalian kurva imbal hasil bank sentral negara itu akan menahan imbal hasil obligasinya agar tidak bergerak jauh lebih tinggi. Itu, pada gilirannya, dapat membatasi daya tarik mata uang.
Greenback kemungkinan akan terus mendapat keuntungan dari aliran-aliran safe-haven jika selera risiko terus memburuk, dan mata uang negara-negara berkembang mungkin termasuk yang merugi terbesar.
“Ada kekhawatiran besar bahwa risiko reflasi ini akan lepas kendali dan itu akan benar-benar memukul mata uang negara-negara berkembang, dan saya pikir Anda akan melihat bahwa investor perlu menilai kembali posisi-posisi dolar mereka," kata Moya.
Data pada Jumat (26/2/2021) menunjukkan belanja konsumen AS meningkat paling tinggi dalam tujuh bulan pada Januari, sementara tekanan harga diredam.
Data pekerjaan AS untuk Februari yang dirilis Jumat depan (5/3/2021) adalah fokus ekonomi utama berikutnya.
Investor juga menunggu rincian RUU stimulus fiskal AS, yang diharapkan akan disahkan dalam beberapa minggu mendatang.
Dewan Perwakilan Rakyat yang dikendalikan Demokrat pada Jumat (26/2/2021) siap untuk mendorong paket bantuan virus corona senilai 1,9 triliun dolar AS dari Presiden Joe Biden, meskipun tampaknya tidak mungkin untuk dapat menggunakan RUU tersebut guna menaikkan upah minimum secara nasional.
Euro merosot 0,79 persen menjadi 1,2078 dolar AS setelah menyentuh level tertinggi tujuh minggu 1,2244 dolar AS pada Kamis (25/2/2021).
Sementara itu, bitcoin turun 0,32 persen menjadi 46.946 dolar AS dan ethereum turun 0,70 persen menjadi 1.468 dolar AS. (*)