Surabaya (ANTARA) - Pemerintah tetap berupaya keras bisa memenuhi kebutuhan energi nasional dengan mendorong industri migas melakukan eksplorasi meskipun saat ini Indonesia berada di fase transisi (energy transition) dari energi bersumber fosil menuju energi hijau (green energy).
Tenaga Ahli Komisi Pengawas SKKMigas, Nanang Abdul Manaf, dalam keterangannya yang diterima ANTARA di Surabaya, Selasa, menjelaskan bahwa dalam fase transisi energi, pemakaian energi fosil hingga tahun 2030 diperkirakan masih dominan dengan bauran energi sekitar 40 persen dan pada 2050 sekitar 36 persen.
"Melihat hal itu, menunjukkan bahwa kebutuhan akan energi fosil masih dominan dan butuh upaya yang luar biasa untuk memenuhi kebutuhan tersebut", kata Nanang Abdul Manaf, usai pertemuan secara virtual dengan pimpinan media massa di Jawa Timur.
Menurut dia, eksplorasi itu penting karena setiap barel produksi minyak dimulai dari satu sumur pengeboran guna menemukan cadangan migas yang baru.
Era migas mudah ditemukan, katanya, kini sudah habis. Industri hulu migas saat ini dihadapkan dengan berbagai tantangan, di antaranya produksi migas yang terus turun, area eksplorasi berada di perbatasan dan lautan (frontier area).
Selain itu, waktu komersialisasi dari eksplorasi terlalu lama, investor kurang tertarik untuk eksplorasi di indonesia sehingga perlu upaya terobosan untuk mempermudah investasi.
"Investasi migas untuk eksplorasi membutuhkan biaya sangat besar. Bisa mencapai triliunan rupiah. Maka dari itu perlu fiscal terms yang aktraktif, regulasi dan politik yang stabil," katanya menjelaskan.
Nanang mengemukakan, Indonesia saat ini memiliki cekungan potensi migas (basin) sebanyak 128 buah. Dari jumlah tersebut sebanyak 20 basin sudah berproduksi, 27 basin dibor dengan penemuan, 13 basin dibor tanpa penemuan, dan sisanya 68 basin belum dieksplorasi.
Cadangan migas tersebut 70 persen berada di wilayah perairan sehingga tantangannya sangat besar, dan biaya yang dibutuhkan untuk mengelola mencapai 80 - 100 juta dolar AS. Sementara tingkat pengembalian atau internal rate of return (IRR) rendah serta periode eksplorasi pendek.
Tenggang waktu dari penemuan hingga ke produksi pertama, di Indonesia antara 8 - 26 tahun, tergantung jenis lapangannya. Namun demikian, rata-rata tenggang waktu di Indonesia sekitar 10,5 Tahun. "Kondisi tersebut tentunya mempengaruhi investor untuk melakukan eksplorasi di Indonesia", kata Nanang.
Oleh karena itu, katanya, Kementerian ESDM menyiapkan strategi untuk meningkatkan daya tarik investasi eksplorasi migas, seperti meningkatkan prospektivitas eksplorasi migas, meningkatkan iklim investasi melalui pendekatan fiskal, kepastian regulasi serta stabilitas politik dan keamanan
"Dengan strategi tersebut diharapkan Indonesia bisa keluar dari situasi kritis untuk peningkatan investasi untuk memenuhi gap kebutuhan energi Indonesia di fase transisi energi menuju era green energy," ucapnya.
Sementara itu, sebagai salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerjasama yang mengupayakan energi fosil, Pertamina EP Asset 4 tetap berupaya memenuhi kebutuhan energi nasional.
General Manager PT Pertamina EP Asset 4, Deddy Syam, mengemukakan salah satu upaya pemenuhan tersebut adalah dengan tetap melakukan aktivitas eksplorasi guna menjaga ketersediaan energi hingga puluhan tahun ke depan.
"Kami di Pertamina EP tetap optimis untuk ketersediaan energi Indonesia, dan kami komitmen untuk terus melakukan eksplorasi, salah satunya yang sedang disiapkan sumur Eksplorasi Kasuari Emas di wilayah Kabupaten Bojonegoro", ujar Deddy Syam.
Ia juga menambahkan bahwa melalui kegiatan eksplorasi tersebut membuahkan hasil temuan cadangan yang besar sehingga dapat memperpanjang masa energi fosil di Indonesia. "Dengan eksplorasi, kami berharap Pertamina akan sustain dan terus beroperasi memenuhi kebutuhan energi di Indonesia," Deddy menegaskan. (*)