Surabaya (ANTARA) - Korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks. Ibaratnya, korupsi seperti "penyakit" yang sulit disembuhkan.
Untuk memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan melakukan suatu tindakan represif, namun yang lebih mendasar lagi adalah melakukan tindakan preventif atau pencegahan, seperti halnya menumbuhkan kepedulian untuk melawan berbagai tindakan korupsi.
Tidak kalah pentingnya adalah menanamkan nilai-nilai antikorupsi dengan menekankan etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat kepada para generasi muda, khususnya di kalangan pelajar.
Hal inilah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bekerja sama dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya guna menumbuhkan nilai-nilai karakter antikorupsi pada anak sejak usia dini.
Seperti yang terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Surabaya pada Rabu (6/1) lalu. Sejak pukul 09.00 WIB, belasan pelajar mengikuti pendidikan antikorupsi dengan protokol kesehatan ketat yang disampaikan langsung Kepala Kejari Surabaya, Anton Delianto. Menariknya, kegiatan ini juga diikuti ribuan peserta yang terdiri dari guru, pelajar serta wali murid secara virtual.
Kepala Kejari Surabaya Anton Delianto mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk memupuk jiwa anti korupsi dimulai sejak duduk di bangku sekolah. Menurut dia, sebenarnya korupsi dapat terjadi dari hal-hal kecil tanpa disadari.
"Jadi kita jelaskan perbuatan korupsi di lingkungan sekolah itu termasuk mencontek. Lalu memalaki teman," katanya.
Selain itu, Anton juga menyampaikan pasal-pasal dari undang-undang aturan hukum lainnya yang mengatur korupsi, sehingga diharapkan pelajar akan getok tular untuk saling menanamkan kejujuran, kedisiplinan dan peduli kepada sekitarnya. Tentunya hal ini akan menjadi role mode di kalangan pelajar.
Menurut Anton, ketika siswa-siswi itu sudah memasuki dunia kerja, maka mereka sudah memiliki bekal jiwa antikorupsi. Dari situlah diharapkan mereka menjauhi tindakan terlarang tersebut.
Selain itu, ia juga meminta kepada para pelajar agar ketika ditemukan penyimpangan, maka mereka harus berani menyampaikan hal itu, seperti halnya saat ditemukan persoalan suap menyuap, pemerasan, maupun penyalahgunaan kewenangan.
Saat pemaparan materi itu, Kajari Surabaya ini mendapat banyak pertanyaan dari kalangan pelajar. Mereka terlihat aktif dan antusias mendengarkan paparan dengan seksama. Bahkan, saat Kajari menanyakan cita-cita, serentak dari para pelajar itu unjuk tangan dan menyebutkan keinginannya masing-masing seperti halnya ada yang mau menjadi dokter, juru masak hingga polisi.
"Saya melihat anak-anak punya cita-cita luar biasa. Ini berkat bimbingan bapak ibu guru yang ada di sekolah. Oleh sebab itu, kita sama-sama memberikan yang terbaik untuk anak kita semua sehingga tumbuh menjadi manusia yang pintar dan memiliki integritas," kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya Supomo mengatakan peserta yang mengikuti pendidikan antikorupsi melalui virtual jumlahnya mencapai ribuan. Makanya, ia ingin ke depan agar kegiatan tersebut dapat rutin digelar setiap satu bulan sekali.
Rencananya, lanjut dia, pihaknya bakal memilih tema antikekerasan dengan mendatangkan pihak kepolisian sebagai narasumber pada bulan depan.
"Kita melihat saat demo beberapa waktu lalu, pelajar juga ada yang ikut-ikutan demo. Oleh karenanya kita antisipasi dengan adanya materi ini. Dengan harapan dapat menekan kasus kekerasan dan juga bahaya korupsi," ujarnya.
Kurikulum antikorupsi
Mata pelajaran antikorupsi sebetulnya sudah disiapkan masuk sekolah-sekolah di Kota Surabaya sebagaimana yang dianjurkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pencegahan sejak dini terhadap parktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pada 2020, Wali Kota Surabaya yang saat itu masih dijabat Tri Rishamarini sempat berencana akan membuat kisi-kisi untuk membuat mata pelajaran (mapel) atau kurikulum antikorupsi di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Surabaya.
Kurikulum antikorupsi itu nantinya akan diintegrasikan dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) yang ada di sekolah. Pada kurikulum itu ditekankan untuk bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti nilai kedisiplinan, kejujuran, tidak mencontek dan mampu membentuk karakter siswa yang lebih baik lagi.
Bahkan, dalam setiap harinya, pelajaran tentang antikorupsi harus diajarkan, bukan hanya sekadar dihafalkan. Hal ini penting untuk membentuk perilaku siswa sehari-hari.
Pendidikan antikorupsi ini sangat penting ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, apalagi nantinya akan membentuk sebuah karakter positif ketika mereka dewasa nanti.
Jika pendidikan antikorupsi itu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, maka ke depannya mereka akan terbiasa untuk berbuat jujur serta membentuk sikap positif bagi generasi Indonesia yang akan datang.
Direktur Gerakan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Indonesia Maria Kresentia sebelumnya mengatakan pihaknya telah bekerja sama dengan Pemkot Surabaya dengan membagikan 1.000 modul anti korupsi berupa alat permainan kepada 1.000 guru PAUD se-Surabaya.
"Kami ikut membantu mewujudkan rencana wali kota membuat kurikulum anti korupsi," katanya.
Selain pembuatan kurikulum antikorupsi, SPAK juga memberikan modul antikorupsi di seluruh perpustakaan-perpustakaan di Surabaya. Hal tersebut untuk memaksimalkan pendidikan karakter tidak hanya di dalam ruang kelas saja, namun di perpustakaan umum juga disediakan.
Selama ini upaya menumbuhkan generasi yang bersih dan antikorupsi ini telah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya melalui kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, kepolisian dan lembaga swasta lainnya.
Tujuan dari kerja sama pembelajaran pendidikan antikorupsi agar pada saat terjun ke masyarakat, para pelajar mendapat bekal yang cukup untuk dapat memahami etika dan moral baik di sektor publik maupun privat.
Tidak hanya itu, para pelajar dapat mengenali dan memahami dampak buruk korupsi terhadap
kepercayaan masyarakat serta memiliki keberanian dan kebijaksanaan untuk memberantas korupsi. Semoga korupsi di Indonesia bisa ditekan dengan adanya pembelajaran antikorupsi sejak dini. (*)