Jember (ANTARA) - DPRD Kabupaten Jember akhirnya mencatatkan sejarah baru perpolitikan di Kota Pandalungan tersebut, yakni memakzulkan kepala daerah dalam rapat paripurna hak menyatakan pendapat yang digelar pada 22 Juli 2020.
Tujuh fraksi di DPRD Jember sepakat untuk mengusulkan pemberhentian Bupati Jember Faida karena dinilai telah melanggar sumpah dan janji jabatan, serta melanggar sejumlah ketentuan dalam perundang-undangan.
Sebanyak 45 anggota DPRD Jember yang hadir dalam rapat paripurna hak menyatakan pendapat melalui tujuh fraksi setuju untuk memakzulkan Bupati Faida secara politik. Namun sayang, bupati perempuan pertama di Jember itu tidak hadir saat paripurna hak menyatakan pendapat tersebut.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan Edi Cahyo Purnomo mengatakan banyak fakta kegagalan, pelanggaran dan segala carut marut Pemerintahan Kabupaten Jember sejak kepemimpinan Bupati Faida, bahkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan RI terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Jember Tahun Anggaran 2019 mendapat opini tidak menyatakan pendapat (disclaimer).
"Pemkab Jember di bawah kepemimpinan Faida telah gagal menjalankan amanat rakyat dalam mengelola triliunan uang negara. Selain itu, fungsi dan sistem birokrasi berhenti karena semua apa kata bupati," tuturnya.
Juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Sri Winarni mengatakan sepanjang sejarah pemerintahan Kabupaten Jember, atau bahkan mungkin di Jawa Timur, baru sekali ini ada permohonan pemakzulan eksekutif oleh legislatif di daerah.
"Saat ini kami memandang berada di tepian sejarah penting untuk menjaga kelangsungan NKRI dan pemakzulan itu harus dilakukan untuk menjaga eksistensi negara dan kepatuhan peraturan perundang-undangan," katanya.
Ia mengatakan FKB tidak ingin pelanggaran demi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dibiarkan tanpa pengawasan dan penyikapan. Misalnya, kebijakan mutasi yang dilakukan Bupati Jember tidak sesuai dengan UU No.5 Tahun 2015 dan Bupati Jember tidak mematuhi rekomendasi dari Komisi ASN atas pelanggaran sistem merit dalam mutasi pegawai di Pemkab Jember.
Sementara Ketua DPRD Jember M. Itqon Syauqi mengatakan pemakzulan itu merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket yang sudah dilakukan dewan karena rekomendasi lembaga legislatif dalam dua hak tersebut diabaikan oleh Bupati Jember Faida.
Ketegangan politik antara bupati dengan dewan terjadi sejak Desember 2019. DPRD Jember mengajukan hak interpelasi kepada Bupati Faida untuk mendapatkan jawaban atas persoalan dengan KASN, hasil pemeriksaan khusus Mendagri, dan sanksi dari Kementerian PAN-RB. Namun, Faida tidak menghadiri rapat paripurna interpelasi tersebut.
Kemudian hak dewan berlanjut pada usulan hak angket dan membentuk panitia angket yang menemukan banyaknya penyimpangan dalam kebijakan yang dilakukan Bupati Jember.
Dalam beberapa catatan panitia hak angket DPRD Jember menyebutkan Bupati Faida mengubah Perbup Kedudukan, Susunan Organisasi Tata Kerja (KSOTK) tanpa mengindahkan ketentuan sehingga menyebabkan Jember tidak mendapatkan kuota CPNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tahun 2019.
Ada 30 peraturan bupati (Perbup) SOTK Jember yang dianulir oleh Pemprov Jatim dan Kemendagri karena dinilai menyalahi peraturan perundang-undangan.
Kemudian kebijakan Bupati Jember melakukan mutasi dinilai melanggar sistem merit dan aturan kepegawaian sehingga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menjatuhkan rekomendasi yang wajib dilaksanakan oleh bupati.
Faida juga telah melakukan mutasi ASN dengan menerbitkan 15 SK Bupati, tetapi Mendagri menilai semua mutasi tersebut melanggar sistem merit dan peraturan perundang-undangan. Mendagri dan Gubernur Jatim pun meminta Bupati Jember untuk mencabut 15 SK mutasi itu.
"DPRD Jember menganggap bupati telah melanggar sumpah jabatan dan melanggar peraturan perundang-undangan sehingga kami bersikap melalui hak menyatakan pendapat menyetujui untuk memakzulkan Bupati Faida," kata Itqon.
Pemakzulan Bupati Jember juga tidak lepas dari kebijakan Faida dalam pengelolaan anggaran yang menabrak prosedur dan jalan sendiri tanpa melibatkan DPRD hingga menyebabkan pembahasan Perda APBD 2020 selalu menemui jalan buntu, bahkan Mendagri turun tangan untuk memediasi DPRD Jember dan Bupati Jember.
Politikus PKB Jember itu mengatakan DPRD secara administratif tidak bisa memberhentikan bupati, namun yang bisa dilakukan adalah pemakzulan atau pemecatan bupati secara politik karena yang bisa memberhentkan bupati adalah Mendagri melalui fatwa Mahkamah Agung. Oleh karena itu, DPRD Jember akan segera mengirimkan berkas hak menyatakan pendapat tersebut kepada MA.
Jawaban Bupati Jember Faida
Menanggapi pemakzulan itu, Bupati Jember Faida menyatakan menghormati hak menyatakan pendapat yang diambil oleh DPRD Jember karena telah diatur dalam undang-undang dan akan mengikuti sesuai dengan prosedur.
Ia mengatakan sejumlah persoalan yang disampaikan DPRD Jember untuk memakzulkan dirinya sudah selesai di meja mediasi melalui klarifikasi yang sudah dilakukan di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan sebelumnya di Pemprov Jatim.
Menurutnya semua persoalan sudah jelas dan APBD Jember sah menggunakan peraturan kepala daerah (perkada), kemudian masalah KSOTK juga sudah jernih dan di awal 2020 juga sudah diibuatkan surat keputusan (SK), sehingga semua masalah yang dibahas sudah mencapai kesepakatan dan ditandatangani tanpa paksaan.
"Tidak semudah itu menurunkan seorang bupati karena kami mendapat amanat dari rakyat, sehingga kami tetap menjalankan tugas sebagai Bupati Jember," kata Faida yang menjadi petahana di Pilkada 2020 melalui jalur perseorangan itu.
Bupati perempuan pertama di Jember itu mengatakan aktivitas birokrasi di Pemkab Jember berjalan seperti biasanya, tidak terpengaruh pemakzulan yang dilakukan DPRD Jember. Ia juga fokus pada penanganan COVID-19 sebagai ketua Satgas COVID-19 di Jember.
Faida mengaku siap mengikuti mekanisme dan prosedur terkait dengan proses pemakzulan dirinya yang akan diproses dewan ke Mahkamah Agung. Ia menilai pemakzulan yang terjadi di Jember dapat menjadi pendidikan politik dan tata negara yang baik buat masyarakat, serta edukasi yang baik bagi pemerintahan.
Ia mengatakan hak menyatakan pendapat yang dilakukan DPRD Jember cacat prosedur karena pihaknya tidak mendapat salinan materi usulan hak menyatakan pendapat sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018.
Putusan MA final
Pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) Adam Muhsi mengatakan pemakzulan Bupati Jember secara hukum tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung dan keputusan tersebut nantinya bersifat final.
Menurutnya hak menyatakan pendapat DPRD Jember yang berujung pada pemakzulan atau pemberhentian Bupati Jember masih bersifat politik.
"DPRD Jember memecat secara politik bahwa Faida bukan lagi Bupati Jember," katanya saat dihubungi dari Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu.
Ia mengatakan usulan pemberhentian Bupati Jember harus dibuktikan secara hukum di Mahkamah Agung. Apa yang dituduhkan atau pendapat DPRD Jember terhadap pelanggaran yang dilakukan Bupati Jember akan diuji di MA sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemda.
Selanjutnya MA memiliki waktu selama 30 hari untuk menguji berkas usulan pemakzulan Bupati Jember yang dikirim oleh DPRD Jember dan tentunya MA akan meminta jawaban Bupati Faida terkait hal itu agar berimbang.
"Apabila MA memutuskan Bupati Jember bersalah karena melakukan pelanggaran maka DPRD Jember harus menindaklanjutinya dengan mengusulkan pemberhentian Faida sebagai Bupati Jember kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri)," katanya.
Adam juga menjelaskan Bupati Jember tidak punya kewenangan menilai prosedur hak menyatakan pendapat itu sah atau tidak karena ada lembaga peradilan, yakni MA yang berhak melakukan penilaian tersebut.
Pengamat administrasi negara Unej Hermanto Rohman mengatakan hak menyatakan pendapat DPRD Jember yang berujung pada pemakzulan Bupati Jember Faida sudah sesuai dengan prosedur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018.
"Tidak ada kewajiban pengusul atau pimpinan DPRD Jember untuk menyerahkan berkas materi hak menyatakan pendapat kepada Bupati Jember karena materi itu belum menjadi produk DPRD secara kelembagaan," katanya.